PENDAHULUAN
Secara geografis Indonesia merupakan
negara kepulauan yang berada di lintasan cincin api atau ring of fire. Cincin
api atau ring of fire adalah sabuk aktivitas seismik
berbentuk tapal kuda yang membentang hampir sepanjang 25.000 mil, yang mencakup
lebih dari 450 gunung berapi dari ujung selatan Amerika Selatan, ke sepanjang
pantai Amerika Utara, melintasi Selat Bering, kemudian turun ke bawah melalui
Jepang, Indonesia, dan masuk ke Selandia Baru. Cincin api terbentuk dari
aktivitas lempeng tektonik. Aktivitas tersebut terjadi karena tabrakan dan
penghancuran lempeng litosfer di bawah dan di sekitar Samudera Pasifik, yang menciptakan
serangkaian zona subduksi secara terus-menerus, sehingga membentuk serangkaian gunung
berapi dan sering terjadi gempa bumi.
Pada bagian selatan dan timur wilayah Indonesia
terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari Pulau Sumatera
– Jawa – Nusa Tenggara – Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua
dan dataran rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa. Kondisi tersebut terbentuk
dari aktivitas pertemuan lempeng tektonik yang ada di Indonesia, yaitu
lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia, dan Samudera
Pasifik.
Salah satu titik pertemuan lempeng tersebut berada di wilayah
paling utara Sulawesi, yaitu Kepulauan Sangihe. Kepulauan
Sangihe adalah sebuah kebupaten di Provinsi Sulawesi Utara, Indonesia, yang beribukota
di Tahuna. Kabupaten Kepulauan Sangihe memiliki luas wilayah 736.98
km2. Kepulauan yang terletak di bibir Samudera Pasifik ini memiliki
tiga klaster wilayah, yaitu Klaster Tatoareng, Klaster Sangihe, dan Klaster
Perbatasan, yang memiliki batas perairan internasional dengan Provinsi Davao
del Sur, Filipina. Daerah ini memiliki 105 pulau, dimana pulau yang berpenghuni
sebanyak 26 pulau dan 79 pulau lainnya tidak berpenghuni. Tidak hanya
terdapat gunung api di atas daratan, Kabupaten Kepulauan Sangihe memiliki gunung api bawah laut. Salah
satu gunung api bawah laut di Kabupaten Kepulauan Sangihe yang memiliki pemandangan
bawah laut menakjubkan adalah Gunung Mahangetang. Bentang alam pegunungan yang
sangat indah beserta segala bentukan khas geologinya yang unik merupakan segala
bentuk potensi alam yang dimiliki Kabupaten Kepulauan
Sangihe. Walaupun demikian, pada kenyataannya
kekayaan geologi yang dimiliki Kabupaten Kepulauan
Sangihe
masih belum bisa dimanfaatkan secara optimal hingga saat ini. Secara
umum, biasanya kekayaan geologi dieksploitasi untuk kegiatan pertambangan serta
sebagai bahan baku pendukung dalam industri manufaktur. Sebagai daerah 3T
(Terluar, Terdepan, dan Tertinggal) di Indonesia, pemerintah perlu memperhatikan
kesejahteraan masyarakat, pembangunan infrastruktur, dan menegakkan kedaulatan
negara Indonesia. Maka dari itu, penulis menawarkan gagasan mengenai "Gunung
Mahangetang Kabupaten Kepulauan Sangihe Sebagai Garda Terdepan Pengembangan
Geowisata Indonesia di Daerah Perbatasan Filipina”.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep
Ilmu Pariwisata
Istilah pariwisata
berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari 2 (dua) kata, yaitu “pari”
yang berarti keliling atau Bersama, dan kata “wisata” yang berarti perjalanan
(I. Pitana, 2009). Sementara itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009
tentang Kepariwisataan, yang dimaksud dengan pariwisata adalah berbagai macam
kegiatan wisata yang didukung oleh berbagai fasilitas serta layanan yang
disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah.
Destinasi adalah tempat yang dikunjungi dengan waktu yang signifikan selama
perjalanan wisata seseorang dibandingkan dengan tempat lain yang dilalui selama
perjalanan, misalnya daerah transit (Pitana, 2009).
Dalam kajian sosiologi
pariwisata, minat wisatawan untuk berkunjung disuatu destinasi alam salah
satunya ditentukan oleh faktor-faktor ektrinsik, yaitu faktor-faktor luar yang
melekat pada destinasi wisata alam (I. G. Pitana & Putu, 2009). Salah satu
faktor ektrinsik tersebut adalah atraksi, atau sering disebut daya tarik
wisata. Menurut Pendit (2002), daya tarik wisata didefinisikan sebagai segala
sesuatu yang menarik dan bernilai untuk dikunjungi dan dilihat. Kemudian secara
lebih spesifik, daya tarik wisata alam dijelaskan sebagai segala sesuatu yang
memiliki keunikan, keindahan, keaslian, dan nilai yang berupa keanekaragaman
kekayaan alam yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan
(Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, 2009). Penelitian
terdahulu menyebutkan bahwa daya tarik wisata terbukti menjadi salah satu
faktor utama yang wajib diperhitungkan dalam perencanaan destinasi wisata,
karena akan sangat menentukan kepuasan wisatawaan dalam berkunjung ke destinasi
wisata (Naidoo dkk., 2011; Adom dkk., 2012; Basiya & Rozak, 2012;
Stevianus, 2014; Darsono, 2015; dan Hermawan, 2017).
2. Konsep
Geowisata
Istilah
geowisata berasal dari bahasa Inggris yaitu geotourism. Yang merupakan
gabungan dari dua kata, yaitu geo yang bermakna bentuk geografis,
geomorfologi, dan juga sumber daya alam lainya, dan tourism atau
pariwisata yang bermakna kunjungan ke kawasan wisata untuk apresiasi dan
pendidikan (R. K. Dowling & Newsome, 2006). Tom Hose merupakan ilmuan
pertama yang aktif memperkenalkan istilah geowisata (geotourism) di Geological
Society pada tahun 1996 dalam makalahnya yang berjudul “Geotourism, or
can tourists become casual rock hounds: Geology on your doorstep”
(Dirgantara, 2012). Sementara itu, istilah geowisata di Indonesia sendiri diperkenalkan
dalam seminar Nasional tentang geowisata, pada tahun 1990 sebagai kegiatan
pariwisata yang memanfaatkan seluruh aspek geologi dengan ruang lingkup mengenai
unsur abiotik seperti bentang alam, batuan, mineral, fosil, tanah, air dan
proses, termasuk didalamnya sejarah geologi.
Geowisata
(geotourism) merupakan pariwisata minat khusus dengan memanfaatkan
seluruh potensi sumber daya alam, sehingga diperlukan peningkatan pengayaan
wawasan dan pemahaman proses fenomena fisik alam (Nainggolan, 2016b). Jadi
secara sederhana dapat disimpulkan bahwa geowisata merupakan bentuk kegiatan
pariwisata minat khusus yang fokus utamanya pada kenampakan geologis permukaan
bumi maupun yang terkandung didalamnya dalam rangka mendorong pemahaman akan
lingkungan hidup, alam dan budaya, lebih lanjut sebagai bentuk apresiasi, dan
kegiatan konservasi, serta memiliki kepedulian terhadap kelestarian kearifan
lokal.
Geowisata
adalah pendekatan holistik untuk pariwisata berkelanjutan yang berfokus pada
semua poin yang dapat didefinisikan untuk menciptakan pengalaman perjalanan
yang otentik (Stokes, Cook, & Drew, 2003). Kegiatan geowisata, diharapkan
mampu menjadi bentuk apresiasi makna dan keunikan terhadap keanekaragaman
warisan geologi yang terkandung dalam suatu area untuk meningkatkan kesadaran
lingkungan melalui upaya konservasi (Chen, Lu, & Ng, 2015). Permintaan
wisatawan untuk mengunjungi situs-situs alami yang penting dari sudut pandang
geologis atau geomorfologi sudah diterapkan sejak lama (R. K. Dowling &
Newsome, 2006). Oleh karena itu, pengembangan geowisata akan menawarkan konsep
wisata alam yang menonjolkan keindahan, keunikan, kelangkaan, serta keajaiban
suatu fenomena alam yang berkaitan erat dengan gejala-gejala geologi yang
dijabarkan dalam bahasa populer atau sederhana (Kusumahbrata, 1999 dalam
Hidayat, 2002).
PEMBAHASAN
1.
Gambaran Umum
dan Kondisi Gunung Mahangetang
Gambar 1. Letak Gunung Mahangetang atau Gunung Banua Wuhu
Sumber:
Google Earth
Gunung
Mahangetang atau Gunung Banua Wuhu merupakan gunung vulkanik aktif yang berada di
wilayah perairan Pulau Mahangetang, salah satu pulau di gugusan Kepulauan
Sangihe, Sulawesi Utara. Keberadaan lokasi geografi dan titik koordinat puncak Gunung
Banua Wuhu berada pada 3˚ 08' 16" LU dan 125˚ 29' 26" BT sebelah
Barat daya Pulau Mahangetang. Gunung Banua Wuhu dapat diakses sekitar 1 jam
perjalanan laut dari Kota Tahuna, Kabupaten Kepulauan Sangihe, atau sekitar 5
jam perjalanan laut dari Kota Manado.
Ketinggian dari Gunung Banua Wuhu terakhir tercatat pada bulan Mei 1935 adalah ± 2.000 m di bawah laut dengan ketinggian dari dasar laut lebih dari 400 m. puncaknya berada sekitar 6 meter di bawah permukaan laut. Menurut catatan yang sudah dilakukan gunung ini pernah meletus sebanyak 6 kali, yaitu yang pertama pada tahun 1835 dan terakhir tahun 1919. Di sekitar fenomena alam bawah laut ini, dulunya sempat terbentuk beberapa pulau sebagai dampak proses letusan Banua Wuhu. Tetapi kemudian menghilang, termasuk sebuah pulau setinggi 90 meter yang terbentuk pada 1835 dan akhirnya hanya berupa susunan beberapa batuan 13 tahun kemudian. Letusan pada September 1889 membentuk sebuah pulau baru yang mencapai ketinggian 50 meter pada 1894. Letusan pada April dan Agustus 1904 membentuk lima kawah. Pulau baru lainnya terbentuk Juli 1918 hingga Desember 1919, dan menghilang sepenuhnya pada 1935. Letusan kembali terjadi April 1919, batu-batu besar dan abu melanda Pulau Mahengetang sehingga menimbulkan kerusakan di mana banyak rumah warga terbakar.
Pada kedalaman 6 meter di bawah permukaan laut, wisatawan akan menemukan terumbu karang yang mengeluarkan gelembung-gelembung udara dari celah bebatuan. Gelembung-gelembung tersebut adalah adalah gas yang keluar dari perut Gunung Banua Wuhu. Pada kedalaman ini, suhu air laut akan sedikit hangat sekitar 380-390 Celcius. Meskipun terumbu karang tersebut sangat menarik, disarankan agar wisatawan tidak memegang terumbu yang mengeluarkan gelembung. Karena suhu gelembung tersebut menurun drastis saat bersentuhan dengan air laut, tetapi sangat panas ketika masih berada dalam rongga terumbu. Disarankan agar wisatawan berhati-hati, supaya jangan sampai tangan wisatawan menjadi melepuh.
Menyelam
lebih dalam, di kedalaman sekitar 10 sampai 20 meter wisatawan akan menemukan ekosistem
laut yang menakjubkan. Gugusan terumbu karang berjajar rapat dan terlihat
sehat, dengan berbagai jenis ikan dan hewan lainnya yang berlalu-lalang dan
bermain di sela-sela karang. Disarankan agar anda memakai perlengkapan menyelam
karena lokasinya yang cukup dalam. Ekosistem Gunung Mahangetang ini
juga sudah terkenal sampai ke mancanegara, sebagai salah satu gunung api bawah
laut dengan ekosistem terindah di dunia setelah Kepulauan Karibia.
Untuk
mendukung keselamatan wisatawan dapat dilakukan dengan upaya minimalisasi
risiko bahaya dan kecelakaan dengan mengadaptasi anjuran dalam guidelines
for safe recreational water (2003). Pencegahan resiko kecelakaan dapat
dilakukan dengan peningkatan keselamatan. Peningkatan keselamatan tersebut dapat
diintervensi dengan lima pendekatan yaitu: (1) Pekerjaan/ perekayasaan (engineering);
(2) Memperkuat (enforment); (3) Pendidikan (education); (4)
Tindakan untuk memberanikan (encouragement); dan (5) Kesiapan bahaya (emergency
preparadness).
2. Konsep
dan Pengembangan Geowisata Gunung Mahangetang
Gunung
Mahangetang atau Gunung Banua Wuhu merupakan bangunan alam nonhayati yang
berada di bawah permukaan bumi yang memiliki nilai, eksotisme, dan keunikan
tersendiri, yang cocok dikelola sebagai daya tarik wisata. Selain itu, kandungan mineral di dalam perut bumi juga
mampu menjadi daya tarik geowisata yang bernilai edukatif dan sangat menarik
untuk dipelajari, baik namanya, sejarah dan proses terbentuknya, sifat dan
unsur-unsur kimianya, beserta kegunaanya dalam kehidupan manusia sehari-hari.
Pariwisata
pada dasarnya terjadi karena adanya kecenderungan manusia untuk mencari hal dan
lingkungan baru, atau sering disebut sebagai ritual inversi dalam ilmu
sosiologi (I. G. Pitana & Putu, 2009). Perbedaan unsur alam, budaya
masyarakat, dan unsur binaan di setiap belahan bumi merupakan hal yang mampu
merangsang seseorang atau sekelompok orang untuk mewisatainya (Darsoprajitno,
2002). Oleh karena itu, wisatawan atau calon wisatawan akan cenderung mencari
tempat-tempat baru yang memiliki lansekap alam yang indah, unik, alami, serta
berbeda dari tempat biasanya mereka hidup. Ilustrasinya sebagai berikut:
“Orang
kota memiliki kecenderungan untuk senang berwisata ke desa yang memiliki
lingkungan tenang dan asri, juga untuk melihat bentang alam yang unik dan
indah, misalnya wisata pendakian ke Gunung Merapi, melihat bentang alam Kawasan
Kars Pegunungan seribu dan tempat-tempat berbasis geologi yang menarik lainya.”
Walaupun
ada kemungkinan berlaku sebaliknya, misalnya:
“Orang-orang
yang selamanya hidupnya di desa terkadang berkeinginan untuk berwisata di kota,
melihat kemegahan gedung-gedung atau keramaian mall.”
Kaitanya
dengan geologi adalah kecenderungan ritual inversi wisatawan di Indonesia telah
didukung oleh potensi alam yang dimiliki, beserta segala bentuk fenomena
geologinya. Kesesuaian kedua faktor diatas menjadi pendorong untuk pengembangan
pariwisata berbasis alam geologi, atau dikenal dengan geowisata. Selain faktor
diatas, perkembangan geowisata juga didukung oleh meningkatnya permintaan
wisata minat khusus. Wisatawan minat khusus biasanya adalah wisatawan-wisatawan
yang menyukai destinasi wisata yang tidak umum, serta menyukai aktifitas wisata
yang menantang atau tidak biasa (Hermawan, 2017), dalam bahasa keilmuanya
sering disebut wisatawan drifter (I. G. Pitana & Putu, 2009). Wisatawan
jenis ini tidak akan puas berkunjung ke destinasi wisata alam hanya untuk
melihat-lihat panorama alam saja, atau sekedar berfoto selfi, sebagaimana pola
mayoritas kunjungan wisatawan saat berwisata saat ini. Destinasi wisata yang
dipilih mereka adalah destinasi yang mampu memuaskan hasrat mereka untuk
berpetualang, serta destinasi yang mampu menambah pengkayaan diri berupa
pengalaman dan wawasan baru.
Alam
geologi di Kabupaten Kepulauan Sangihe yang berupa Gunung Banua Wuhu sangat
cocok untuk dikembangkan menjadi daya tarik pariwisata geologi. Oleh karena
itu, dibutuhkan rumusan-rumusan dalam pengelolaan geowisata yang dapat
diimplementasikan. Geotourism adalah pariwisata berkelanjutan dengan
fokus utama pada pengalaman geologi Bumi. Oleh karena itu dibutukan fitur
berupa sarana informasi yang memupuk pemahaman lingkungan dan budaya, apresiasi
dan konservasi secara lokal mengalami geologi Bumi. Kualitas informasi
merupakan faktor utama yang dibutuhkan bagi wisatawan, karena pada dasarnya
motif utamanya adalah mencari sesuatu hal yang baru sebagai upaya pengkayaan
diri. Oleh karena itu, geowisata perlu memiliki sarana informasi yang informatif
(Pásková, 2012).
Gunung
Mahangetang atau Gunung Banua Wuhu memiliki daya tarik berupa
gelembung-gelembung udara yang keluar dari celah bebatuan. Selain itu, kita
juga dapat menemukan ekosistem laut yang menakjubkan, dengan gugusan terumbu
karang berjajar rapat dan terlihat sehat, berbagai jenis ikan dan hewan lainnya
yang berlalu-lalang dan bermain di sela-sela karang, menjadi alternatif daya
tarik yang dapat dinikmati wisatawan. Hal ini akan menjadi nilai unggul
destinasi karena pengembangan aktifitas wisata di Gunung Banua Wuhu dapat
dikembangkan lebih leluasa dan lebih beragam. Dengan begitu, diharapkan
wisatawan tidak jenuh dan mampu menambah lama tinggal. Ada nilai keindahan dan
keunikan, atraksi alam terbentuk karena proses fenomena alam serta hanya
terjadi pada saat tertentu maka tidak ada kemiripan antara suatu kawasan dengan
kawasan wisata lain, sehingga atraksi alam memiliki keunikan tersendiri
dibandingkan dengan atraksi budaya dan atraksi buatan, terlebih karena atraksi
alam hanya dapat dinikmati secara utuh di ekosistemnya.
3. Langkah Strategis Pengembangan Geowisata Gunung Mahangetang atau Gunung Banua Wuhu
Gambar 2. Bagan rumusan model pengelolaan geowisata
Sumber: Hermawan, H., & Ghani, Y. A. (2018)
Dalam
pengelolaannya, aktifitas geowisata Gunung Mahangetang atau Gunung Banua Wuhu
dapat dikembangkan melalui pembelajaran kegeologian, kegiatan yang mampu
memberi pengkayaan pengetahuan (wisatawan masyarakat) khususnya terkait dengan
aspek kegeologian yang menjadi daya tarik wisata, kegiatan penghargaan dan
pelestarian atau konservasi alam, dan petualangan lintas alam. Hal ini juga
harus diriringi dengan pengelolaan oleh manajemen profesional dalam hal
pengembangan atraksi geowisata dan konservasi lingkungan, pembangunan
pariwisata berkelanjutan dan keterlibatan masyarakat, safety manajement,
dan service excelent disertai sarana prasarana pendukung. Selain
itu, aktifitas geowisata diharapkan dapat memberi output manfaat yang
meliputi manfaat pada kelestarian alam, dan fenomena geologi yang menjadi daya
tarik wisata, tercapainya kepuasan wisatawan melalui pengalaman berwisata dan
pengkayaan pengetahuan yang didapat selama berwisata, peningkatan kesejahteraan
ekonomi masyarakat, dan terwujudnya pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan.
Sebagai
daerah 3T (Terluar, Terdepan, dan Tertinggal) di Indonesia, pemerintah pusat perlu
ikut serta dalam mengembangkan pariwisata yang ada di Kabupaten Kepulauan
Sangihe yaitu dengan membangun infrastuktur, melengkapi fasilitas wisata,
promosi, dan menetapkan wisata baru. Gunung Mahangetang atau Gunung Banua Wuhu
merupakan potensi wisata geologi Indonesia yang sangat menakjubkan. Dimana gunung
ini, merupakan gunung vulkanik aktif yang berada di bawah perairan. Wisatawan
akan menemukan terumbu karang yang mengeluarkan gelembung-gelembung udara dari
celah bebatuan. Selain itu, wisatawan juga akan menemukan ekosistem laut yang
menakjubkan. Gugusan terumbu karang berjajar rapat dan terlihat sehat, dengan
berbagai jenis ikan dan hewan lainnya yang berlalu-lalang dan bermain di
sela-sela karang.
Gambar 3. Mengusulkan Kepulauan Sangihe sebagai Geopark
Sumber: https://bobo.grid.id/
Apabila
dilihat dari kriterianya sebagai objek wisata geologi. Gunung Mahangetang atau
Gunung Banua Wuhu sudah memiliki kriteria sebagai daya tarik wisata. Sebagai
garda terdepan dalam pengembangan wisata di daerah perbatasan Filipina,
pemerintah perlu mengembangkan dan menjadikan Kawasan Kepulauan Sangihe sebagai
Geopark. Keunikan Kepulauan Sangihe, bukan hanya karena serangkaian
pulau-pulaunya saja namun juga keragaman tanaman, buah-buahan, dan keindahan
bawah lautnya yang sangat luar biasa. Kabupaten Sangihe memiliki gunung api
bawah laut yang mengeluarkan gelembung-gelembung udara yang jarang sekali
dimiliki oleh daerah lain di Indonesia bahkan di dunia. Yang menjadi perhatian
adalah bagaimana management atau pengelolaannya sehingga geodiversity, biodiversity,
dan cultural diversity-nya dapat dijadikan satu nilai tersendiri yang
berkelas internasional. Hal ini harus terus tetap terjaga agar kedepannya Geopark
Kepulauan Sangihe dapat menjadi daerah tujuan wisatawan High End Consumer
yaitu wisatawan yang ber-income besar yang mengutamakan kualitas dan
minat khusus. Selain itu, kehadiran pemerintah Republik Indonesia di daerah
terluar akan menjadi batu loncatan untuk menegakkan kedaulatan negara dan
pemerataan pembangunan.
PENUTUP
Geowisata mencoba dihadirkan sebagai
sebuah solusi bagaimana memanfaatkan kekayaan geologi beserta berbagai
dinamikanya untuk kegiatan wisata dan ekonomi yang berwawasan lingkungan. Paradigma
dalam pengelolaan geowisata adalah bagaimana pengelolaan pariwisata mampu
mengoptimalkan potensi alam (geologi) menjadi bernilai tambah bagi
kesejahteraan ekonomi masyarakat lokal, sekaligus mampu menekan seminimal
mungkin potensi kerusakan alam.
Gunung Mahangetang atau Gunung Banua Wuhu memiliki daya tarik berupa gelembung-gelembung udara yang keluar dari celah bebatuan. Selain itu, kita juga dapat menemukan ekosistem laut yang menakjubkan, dengan gugusan terumbu karang berjajar rapat dan terlihat sehat, berbagai jenis ikan dan hewan lainnya yang berlalu-lalang dan bermain di sela-sela karang, menjadi alternatif daya tarik yang dapat dinikmati wisatawan. Hal ini akan menjadi nilai unggul destinasi karena pengembangan aktifitas wisata di Gunung Banua Wuhu dapat dikembangkan lebih leluasa dan lebih beragam. Dengan begitu, diharapkan wisatawan tidak jenuh dan mampu menambah lama tinggal. Ada nilai keindahan dan keunikan, atraksi alam terbentuk karena proses fenomena alam serta hanya terjadi pada saat tertentu maka tidak ada kemiripan antara suatu kawasan dengan kawasan wisata lain, sehingga atraksi alam memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan atraksi budaya dan atraksi buatan, terlebih karena atraksi alam hanya dapat dinikmati secara utuh di ekosistemnya.
Apabila dilihat dari kriterianya sebagai objek wisata geologi. Gunung Mahangetang atau Gunung Banua Wuhu sudah memiliki kriteria sebagai daya tarik wisata. Sebagai garda terdepan dalam pengembangan wisata di daerah perbatasan Filipina, pemerintah perlu mengembangkan dan menjadikan Kawasan Kepulauan Sangihe sebagai Geopark. Keunikan Kepulauan Sangihe, bukan hanya karena serangkaian pulau-pulaunya saja namun juga keragaman tanaman, buah-buahan, dan keindahan bawah lautnya yang sangat luar biasa. Kabupaten Sangihe memiliki gunung api bawah laut yang mengeluarkan gelembung-gelembung udara yang jarang sekali dimiliki oleh daerah lain di Indonesia bahkan di dunia.
Post a Comment
Post a Comment