Iklan

Ad Unit (Iklan) BIG

Analisis Fosil Megantropus Paleojavanicus di Sangiran, Jawa Tengah

Post a Comment

 

A.    GAMBARAN UMUM

Gambaran umum dari lokasi penelitian yaitu Daerah Cagar Budaya Sangiran yang berada di Sragen dan Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah dapat dilihat dari beberapa aspek diantaranya letak dan keadaan geografis, penduduk, sarana, dan prasarana. Untuk mengetahui lebih jelas tentang aspek-aspek tersebut akan diuraikan satu persatu sebagai berikut:

 

1.      Letak dan Kondisi Geografis

Secara adimistratif Situs Sangiran berada di dua wilayah kabupaten yaitu Sragen dan Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah. Daerah Cagar Budaya Sangiran sisi utara masuk ke dalam wilayah Kabupaten Sragen yang meliputi tiga kecamatan yaitu: Kalijambe, Plupuh, dan Gemolong. Situs sisi selatan yang masuk Kabupaten Karanganyar, terletak di Kecamatan Gondangrejo. Secara astronomis, situs terletak antara koordinat 110"48"56 " - 110°53 '00" Bujur Timur dan 7°24 '40 " - 7"35 ' 25 " Lintang Selatan. Wilayah Cagar Budaya Sangiran berada pada ketinggian 25 sampai dengan 100 meter dari permukaan air laut. Curah hujan berkisar antara 128 - 739 milimeter. Suhu udara berkisar antara I7°C - 36,8°C (Monografi Kecamatan Kalijambe, 2008).

Secara umum, kawasan Situs Sangiran merupakan lahan tandus, terdapat lereng-lereng perbukitan dengan sudut kemiringan antara 70"- 80°. Lahan tanah ini potensial terjadi erosi atau longsor karena tanahnya berjenis regosol. Tanah regosol adalah jenis tanah yang masih muda dengan tekstur tanah kasar dan gembur dengan PH 6-7. Tanah jenis ini kandungan fosfor dan kalium cukup namun unsur nitrogen kurang. Hal ini menyebabkan tanaman kekurangan unsur utama untuk hidup (Samidi ,dkk, 1994:9).

Kedalaman air tanah di Sangiran sangat bervariasi tergantung pada kemiringan bentuk lahan. Di daerah kubah Sangiran terdapat dua jenis air tanah yaitu asin dan tawar. Air tanah tersebar pada daerah dengan satuan batuan Formasi Notopuro dan Kabuh, sedangkan air asin terdapat pada daerah dengan satuan batuan dari Fonnasi Pucangan dan Kalibeng (Latifah, 1995:59).

Jalur menuju Situs Sangiran dengan mengambil rute perjalanan dari Surakarta ke jurusan Purwodadi. Setelah Kaliyoso ada Gapura Situs Sangiran yang berada di jalur jalan raya Solo - Purwodadi dapat dijadikan penanda untuk menuju Desa Krikilan. Perjalanan dari gapura Situs Sangiran menuju Desa Krikilan berjarak ± 5 km, dengan melewati kota Kecamatan Kalijambe. Sepanjang kanan dan kiri jalan sudah tidak terlihat lagi lahan pertanian, hampir semua tanah di pinggir jalan kecamatan didirikan rumah, warung atau toko kecil. Mendekati Desa Sangiran terdapat 2 sekolah tingkat menengah yaitu SMP dan SMK. Batas wilayah Desa Krikilan adalah jembatan kecil yang berada tidak jauh dari Dusun Kalongbali, sedangkan ke arah utara ada jalan yang ke arah Desa Bukuran.

Ketika memasuki Desa Krikilan, suasana daerah wisata sudah terasa. Di sepanjang jalan berjajar toko souvenir dan beberapa penginapan. Sepanjang perjalanan kita akan menemui beberapa toko souvenir batu-batuan khas Sangiran, seperti Toko Souvenir Wasimin, Toko Souvenir Yanto, Toko Souvenir Widodo, dll. Sampai di perempatan Desa Krikilan, bagi yang akan melihat Museum Situs Sangiran kemudian belok kanan, sekitar 1 km. Bagi yang akan ke Balai Desa maka dari perempatan desa tinggal lurus ke arah Dusun Sangiran yang berjarak 100 m. Sedangkan kalau ke arah kiri, menuju Menara Pandang.

Desa Krikilan dan Bukuran terletak di kawasan pcrbukitan rendah yang kering dan tandus. Desa Krikilan dan Bukuran masuk Kecamatan Kalijambe. Desa Krikilan sebelah utara bcrbatasan dengan Desa Ngebung, sebelah timur berbatasan dengan Desa Bukuran, sebelah selatan dengan Kali Cemoro dan sebelah barat dengan Desa Jetis Karangpung. Luas Desa Krikilan kurang lebih 444,7 ha yang terdiri dari luas sawah 65 ha, tadah hujan 64,4 ha, pekarangan 94 ha, dan ladang 1 ha.

 

Tabel 3.1 Luas Tanah Sawah Dan Kering di Kecamatan Kalijambe

No.

Tanah Sawah dan Kering

Krikilan

Bukuran

Jumlah (ha)

1

Tanah Sawah

64.42

123.44

187.86 2

2

Tanah Kering

384.84

320.68

705.52

Sumber: Statistik Kecamatan Kalijambe. 2008

lrigasi tanah sawah baik di Desa Krikilan maupun Bukuran mcrupakan tadah hujan. Tanah kering yang ada dikedua desa digunakan sebagai tanah pekarangan dan tegal /kebun.

Struktur pemerintahan Desa Krikilan terdiri dari : kepala desa, enam pamong desa, dan tiga kepala dusun (havan). Dcsa Krikil an dipimpin oleh seorang kcpala desa bernama Widodo. Desa Krikilan terdiri dari sebelas dusun yaitu: Dusun Sangiran, Dusun Pahlengan Wetan, Dusun Pablengan Kulon. Dusun Ngampon, Dusun Krikilan, Dusun Kalongbali, Dusun Benda, Dusun Pagerejo, Dusun Kalijambe Kidul, Dusun Ngrukun, dan Dusun Pondok. Setiap dusun tidak dipimpin oleh satu orang kcpala dusun, melainkan merupakan penggabungan 2-4 dusun. Kabayanan 1 yang tcrdiri dari Dusun Pagerejo, Kalongbali, Ngrukun, dan Bendo dipimpin olch Bayan Sajari. Kabayanan 2 meliputi Dusun Sangiran, Ngampo, Krikilan. dan Pondok dipimpin oleh Bayan Warsono. Kabayanan 3 meliputi Dusun Pablengan Kulon dan Pablengan Wetan dipimpin oleh Bayan Mintodiharjo.

Desa Bukuran sebelah utara berbatasan dengan Desa Ngebung, sebelah barat berbatasan dengan Desa Krikilan, sebelah selatan dengan Kabupaten Karanganyar, dan sebelah timur dengan Kecamatan Plupuh. Desa Bukuran terdiri dari Dusun Kedungringin, Grogolan, Sendang, Bukuran/Toho, Kertosobo, Cengklik, Dangrejo, Jagan, Bapang, Ngargorejo, dan Taprukan. Struktur pemerintahan halnya Desa Bukuran sama dengan Desa Krikilan. Desa Bukuran dipimpin seorang kepala desa yang bemama Sugondo dengan Sekretaris Desa bemama Sartono dengan dibantu enam orang pamong desa dan tiga orang bayan yaitu bayan satu adalah Suwamo, bayan dua Madyo, dan bayan tiga adalah Suyono.

 

2.      Penduduk, Sarana, dan Prasarana

Penduduk Kecamatan Kalijambe sejumlah 46.236 jiwa terdiri dari laki-laki 23.271 dan perempuan 22.965. Dari sekian banyak penduduk di Kecamatan Kalijambe, yang menempati wilayah Desa Krikilan dan Bukuran sejumlah 6077 jiwa. Jumlah penduduk Desa Krikilan adalah 3.601 yang terbagi dalam laki-laki ada 1.756 dan perempuan 1.845. Luas wilayah Desa Krikilan 4.49 km2, dengan jumlah penduduk 3.601 maka kepadatan penduduknya adalah 802 orang/km2. Sedangkan jumlah penduduk Desa Bukuran ada 2.476 yang terbagi dalam laki-laki ada 1.259 dan perempuan ada 1.217. Luas wilayah Desa Bukuran 4.44 km2  dengan jumlah penduduk 2.476 maka kepadatan penduduknya adalah 558 orang/km2.

Sejak didirikannya Museum Sangiran, infrastruktur Desa Krikilan secara perlahan mengalami perbaikan, terutama jalan. Jalan utama menuju Museum Sangiran dan Menara Pandang merupakan jalan aspal yang dibangun oleh pemerintah Kabupaten Sragen untuk mendukung pengembangan Sangiran sebagai objek dan daya tarik wisata. Kondisi jalan yang menghubungkan antar dusun sebagian besar sudah diperkeras dengan semen atau beton namun masih ada juga jalan tanah yang diperkeras dengan batu. Perbaikan jalan antar dusun merupakan swadaya dari masyarakat atau merupakan program dari desa setempat, serta program pemerintah. Adanya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pedesaan memberi andil yang besar dalam meningkatkan kondisi jalan dusun.

 

Gambar 3.1 PNPM Mandiri di Desa Krikilan dan Papan Pemberitahuan Adanya Proyek Perbaikan Jalan dari PNPM Mandiri Pedesaan

Sumber : Kajian Sosial, Budaya, dan Ekonomi Masyarakat di Kawasan Situs Sangiran.2013

 

Gambar 3.2 Jalan Beton bantuan PNM Mandiri Pedesaan

Sumber : Kajian Sosial, Budaya, dan Ekonomi Masyarakat di Kawasan Situs Sangiran.2013

 

Kondisi tanah yang mudah longsor jika hujan deras menjadikan sarana jalan menjadi ambles. Pada musim penghujan tahun 2011, akses jalan penghubung Desa Bukuran dan Krikilan Kecamatan Kalijambe terancam terputus. Ini karena kondisi jalan tersebut mengalami longsor akibat hujan yang mengguyur selama sepekan. Warga dan pemerintah desa (Pemdes) setempat mendesak agar pihak terkait segera membenahi lokasi jalan yang longsor. Tanpa perbaikan, dikhawatirkan longsoran jalan akan meluas dan mengancam akses transportasi warga dua desa tersebut.

Kondisi jalan tersebut sudah memprihatinkan. Beberapa titik menyempit akibat adanya longsor. Bahkan, jalan di Dukuh Cengklik, yang berdekatan dengan Balai Desa Bukuran, longsor hanya menyisakan separuh badan jalan. Pihak desa sudah berusaha mengupayakan perbaikan dengan mengajak warga untuk gotong royong. Namun, minimnya dana menjadi kendala dalam pengerjaannya.

Adanya sarana jalan tidak didukung oleh sarana transportasi umum yang memadai. Sarana transportasi roda empat cukup tersedia (lihat tabel 11.2.), namun operasionalnya sangat terbatas. Angkutan umum lebih memprioritaskan para pelajar. Angkutan umum jam operasional trayeknya disesuaikan dengan keberangkatan dan kepulangan pelajar dari sekolah. Itupun angkutan yang beroperasi masih minim, tidak semua angkutan umum beroperasional di Sangiran. Kondisi lahan yang berbukit-bukit sarana kendaraan tidak bermotor yang ada hanyalah sepeda. Sarana kendaraan tidak bermotor yang menggunakan tenaga manusia dan hewan, yaitu: andong, gerobag, dan becak, tidak ada.

 

Tabel 3.2 Kepemilikan Kendaraan Motor Penduduk Kecamatan Kalijambe

No

Jenis Kendaraan Bermotor

Krikilan

Bukuran

Jumlah

1

Mobil Pribadi

6

2

8

2

Clot Umum

5

10

15

3

Truk

2

3

5

4

Sepeda Motor

98

71

169

Sumber : Stalistik Kecamatan Kalijambe. 2008

 

Sarana komunikasi di Sangiran sudah memadai, terutama yang berupa radio dan televisi hampir setiap rumah mempunyainya. Namun, untuk telepon rumah hanya beberapa saja, kebanyakan penduduk terutama yang muda menggunakan handphone.

 

Tabel 3.3 Sarana Komunikasi Penduduk Kecamatan Kalijambe

No

Sarana Komunikasi

Krikilan

Bukuran

Jumlah

1

Telepon

30

15

45

2

Radio

494

371

865

3

Televisi

238

193

431

Sumber : Statistik Kecamatan Kalijambe. 2008

 

Sarana dan prasarana pendidikan hanya sampai tingkatan SD. Jumlah sekolah yang ada yaitu: 1 TK dan 2 SD/Ml. Sarana pendidikan di Desa Krikilan hampir sama dengan Desa Bukuran, terdiri dari : 2 play group, 2 TK, dan 3 SD/ sederajat. Penduduk kedua desa apabila menginginkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi yaitu SLTP atau SLTA harus bersekolah di luar desa. Desa di Kecamatan Kalijambe yang sudah mempunyai fasilitas sekolah tingkat SLTP adalah Jetis Karangpung, Kalimacan, Sambirembe, Saren, Wonorejo, maupun Donoyudan. Apabila ingin meneruskan ke tingkat SLTA bisa bersekolah di Desa Jetis Karangpung, Sambirembe, Donoyudan, dan Saren.

 

Tabel 3.4 Sarana Sekolah Di Kalijambe

No

Tingkat Sekolah

Negeri

Swasta

Jumlah

1

SD/ MI

7

29

36

2

SMP/ MTS

4

3

7

3

SMA/ SMK

4

3

7

4

AK/ PT

-

-

-

Jumlah

15

35

50

Sumber: Statistik Kecamatan Kalijambe, 2008

 

Sarana dan prasarana kesehatan Desa Bukuran terdiri dari 1 Puskesmas pembantu, 1 Polindes/ PKD, ada 6 Posyandu, serta seorang tenaga medis/ kesehatan/bidan. Di samping tenaga bidan, di Bukuran terdapat seorang dukun bayi. Adapun untuk Desa Krikilan, prasarana kesehatan terdiri dari sebuah Puskesmas pembantu, 7 buah Posyandu, sebuah Rumah Bersalin, dan sebuah Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA). Jumlah tenaga kesehatan terdiri dari: dukun bayi ada 3 orang, seorang bidan, dan seorang perawat. Dukun bayi yang ada di kedua desa sudah terlatih secara medis.

Masyarakat Desa Krikilan sudah mempunyai pasar tradisional dengan hari pasaran Kliwon. Di samping itu sudah ada beberapa kios dan warung. Masyarakat Desa Bukuran belum mempunyai pasar desa sebagai tempat untuk melakukan transaksi. Dalam kegiatan perekonomian masyarakatnya berada di Pasar Krikilan. Hanya ada 3 pertokoan atau kios kelontong serta 36 warung yang ada di Desa Bukuran. Pasar Krikilan yang hanya beraktivitas pada hari pasaran Kliwon, maka di luar pasaran tersebut penduduk ke Pasar Kaliyoso. Sedangkan Desa Bukuran yang jaraknya berdekatan dengan Plupuh, aktivitas ekonomi masyarakatnya kadang-kadang juga dilakukan ke daerah tersebut.

Untuk memenuhi kebutuhan penduduk, di Desa Bukuran dan Kriki lan tersedia sarana peribadatan dan olahraga. Penduduk kedua desa tersebut semuanya memeluk agama Islam. Sarana peribadatan yang ada di Desa Bukuran terdiri dari 12 buah masjid dan 7 buah mushola. Sedangkan sarana peribadatan di Desa Krikilan terdiri dari 12 buah masjid dan 4 buah mushola. Sedangkan sarana olahraga yang ada di Desa Krikilan antara lain: sebuah lapangan sepakbola, sebuah meja ping pong, dan 3 buah lapangan voli.


 Gambar 3.3 Masjid di Gandok, Krikilan

Sumber : Kajian Sosial, Budaya, dan Ekonomi Masyarakat di Kawasan Situs Sangiran.2013

 

Sebagai daerah wisata, untuk meningkatkan pelayanan kepada para wisatawan di Kawasan Sangiran, Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen membangun Menara Pandang dan Wisma Sangiran. Para wisatawan bisa menikmati keindahan dan keasrian panorama di sekitar Kawasan Sangiran dari ketinggian lewat Menara Pandang Sangiran. Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan para wisatawan akan tempat penginapan yang nyaman di Kawasan Sangiran dibangun Wisma Sangiran (Guest House Sangiran) yang terletak bersebelahan dengan Menara Pandang Sangiran. Wisma Sangiran ini berbentuk joglo (rumah adat Jawa Tengah) dengan ornamen-ornamen khas Jawa yang dilengkapi dengan pendopo sebagai lobby. Keberadaan Wisma Sangiran ini sangat menunjang kegiatan yang dilakukan oleh para tamu atau wisatawan khususnya bagi mereka yang melakukan penelitian (research) Wisma Sangiran memiliki fasilitas-fasilitas yang memadai, antara lain : Deluxe Room, sebanyak dua kamar dilengkapi dengan double bed, bath tub dan shower, washtafel, meja rias dan rak ; Standard Room, sebanyak tiga kamar dilengkapi dengan double bed, bak mandi, washtafel, dan meja rias; Ruang Keluarga yang dilengkapi dengan meja dan kursi makan serta kitchen set ; Pendopo (Lobby) yang dilengkapi dengan meja dan kursi ; serta tempat parkir. Selain fasilitas-fasilitas tersebut, disediakan mobil (mini train) untuk memudahkan mobilitas para wisatawan yang berkunjung ke Kawasan Sangiran.

Sumber air yang dapat dijumpai di kawasan Situs Sangiran berupa sungai (Lihat foto 6) dan mata air. Sungai Cemoro mengalir sepanjang musim di kawasan tersebut. Mata air hanya dapat ditemukan di daerah tertentu. Apabila akan membuat sumur, penduduk harus menggali cukup dalam untuk mencapai air tanah, setidaknya sepuluh meter. Akibatnya dari kondisi tersebut, penduduk mengalami kesulitan dalam mendapatkan air yang layak konsumsi. Pemkab Sragen dalam mengatasi persoalan air, khususnya untuk konsumsi sehari-hari dalam bentuk dana untuk pembangunan SAB (sarana air bersih) model PAM. Air tanah disedot dengan pompa air merk Grundfos 2 HP untuk Desa Bukuran dan pompa merk Franklin 2 HP untuk Desa Krikilan. Kemudian air tersebut ditampung dan dialirkan ke rumah-rumah penduduk, namun dalam pelaksanaan menghadapi kendala. Model PAM ternyata belum dapat memecahkan masalah karena sistem penyaringan air dari sumber mata air belum memenuhi syarat, bahkan kadang-kadang mesin pompa rusak.

                                                       Gambar 3.4 Penampungan Air

Sumber : Kajian Sosial, Budaya, dan Ekonomi Masyarakat di Kawasan Situs Sangiran.2013

 

Untuk memenuhi kebutuhan air, maka mata air dan sungai menjadi sumber air pokok di musim kering untuk mengairi lahan sawah. Sungai atau sumber air diambil airnya dengan menggunakan mesin diesel ataupun dengan gaya gravitasi bumi. Di Sangiran yang kondisi alamnya berbukit-bukit dan sangat sulit untuk memperoleh air telah melakukan inovasi dengan membangun bendungan di Kali Cemoro yang dilengkapi dengan pompa hydran (hydrolic ram) beserta jaringan irigasinya. Pompa hydran yang merupakan pampa air model hydrolik dengan memanfaatkan tenaga ram atau pukulan dan hambatan air dipilih dengan pertimbangan bahwa inovasi ini merupakan inovasi dengan teknologi sederhana dan tepat guna, tidak perlu bahan bakar/listrik dan tidak perlu rumah pampa. Pompa hydran adalah pampa tanpa bahan bakar maupun tenaga listrik, tapi dengan efek water hammer yang terjadi karena perbedaan ketinggian dan penghentian gerakan air secara mendadak. Pemeliharaan pompa hydran ini sangat mudah, hanya dengan penggantian karet tutup dan rem secara terus menerus (kontinyu). Manfaat yang didapatkan dari inovasi ini sangat banyak, yang utama adalah menyediakan air irigasi dan meningkatkan produksi pertanian warga yang semula berupa padi-polowijo-polowijo, menjadi padi-padi-polowijo. Selain itu dengan adanya pampa ini maka dapat berpartisipasi dalam menjaga kelestarian alam, karena bebas polusi.


Gambar 3.5 Bendungan Bapang

Sumber : Kajian Sosial, Budaya, dan Ekonomi Masyarakat di Kawasan Situs Sangiran.2013

 

Bendungan Bapang yang terletak di Dusun Gandok, Krikilan, aimya dialirkan melewati dusun-dusun di wilayah Krikilan dan Bukuran dengan tujuan akhir ke Plupuh (Lihat foto 5,6,7). Di sepanjang saluran air digunakan penduduk untuk kepentingan irigasi pertanian dan untuk keseharian. Sarana mandi, cuci, dan kakus dilakukan di saluran air ini bagi penduduk yang tinggal berdekatan dengannya (Lihat foto ).

 

Gambar 3.6 Penggunaan Bendungan Bapang Untuk Irigasi Pertanian

Sumber : Kajian Sosial, Budaya, dan Ekonomi Masyarakat di Kawasan Situs Sangiran.2013

 

Gambar 3.7 Mencuci Baju di Saluran Bendungan Bapang

Sumber : Kajian Sosial, Budaya, dan Ekonomi Masyarakat di Kawasan Situs Sangiran.2013

 

B.     SEJARAH PENEMUAN FOSIL DI SITUS SANGIRAN

Situs Sangiran merupakan sebuah kawasan situs prasejarah yang mengandung temuan fosil manusia, fosil binatang dan temuan artefak yang melimpah. Kawasan ini juga merupakan sebuah laboratorium alam yang menunjukkan berbagai lapisan tanah dan memperlihatkan interaksi kehidupan manusia dengan lingkunganya. Oleh karenanya, situs Sangiran dianggap sebagai salah satu dari “Situs Kunci” (Key Sites) oleh UNESCO yang dapat memberikan gambaran dan pemahaman tentang proses evolusi manusia, budaya, dan lingkungannya selama 2 juta tahun tanpa terputus.

Pada tahun 1996, situs ini ditetapkan sebagai warisan budaya dunia yang tercatat dalam World Heritage List UNESCO Nomor 593, dengan nama “Sangiran Early Man Site”. Situs Sangiran saat ini telah menjadi payung bagi situs-situs hominid lainnya di Pulau Jawa seperti Trinil, Kedungbrubus, Ngandong, Sambungmacan, Patiayam, Perning, dan bahkan situs hominid terbaru Semedo di Jawa Tengah bagian barat. Eksistensinya tidak dapat dilepaskan dari situs-situs tersebut, dan bahkan kehadiran Sangiran tampak begitu perkasa. Nafas Sangiran adalah nafas situs-situs hominid di Indonesia.

Perhatian terhadap Sangiran telah ada sejak kedatangan Von Koenigswald ke Sangiran untuk melakukan penelitian di Sangiran pada tahun 1934. Penelitian yang dilakukan oleh Von Koenigswald berhasil menemukan sebuah fosil tengkorak manusia purba yaitu berupa fragmen rahang bawah (mandibula) dan diberi kode Sangiran 1b (S1b) pada tahun 1936. Tahun berikutnya 1937 Ia kembali menemukan fragmen tengkorak (S2) dinamakan Pithecanthropus I diberikan untuk fosil yang ditemukan oleh Eugene Dubois di Trinil tahun 1982. Kemudian pada tahun 1943 Von Koenigswald menemukan fragmen tengkorak (S3).

Penemuan fosil-fosil manusia purba kembali ditemukan pada masa berikutnya yang dilanjutkan oleh para ahli dari dalam negeri yaitu Teuku Jacob dan Sartono pada sekitar tahun 1960-an. Mereka telah berhasil menemukan fragmen tengkorak bagian belakang dan rahang atas (S4), rahang bawah kanan (S5 dan S6a), fragmen rahang bawah (S8), rahang bawah (S9), dan tengkorak (S17). Penemuan S17 merupakan penemuan yang istimewa yaitu berupa tengkorak lengkap dengan gambaran wajahnya yang ditemukan pada tahun 1969. Beberapa penemuan tersebut dibedakan menjadi empat taxon yaitu Pithecanthropus robustus (S4), Pithecanthropus dubius (S5), Pithecanthropus erectus (S2 dan S3), dan Meganthropus palaeojavanicus (S6a) (Anjarwati, 2009: 5-6). Penemuan-penemuan yang disebutkan di atas dibedakan dalam empat taxon tersebut saat ini lebih dikenal sebagai Homo arkaik dan Homo tipik. Yang termasuk dalam klasifikasi Homo arkaik yaitu Meganthropus palaeojavanicus, sedangkan yang termasuk dalam klasifikasi Homo tipik yaitu Pithecanthropus robustus, Pithecanthropus dubius, dan Pithecanthropus erectus.

Tahapan evolusi fisik manusia purba yang ada di Sangiran dimulai dari Homo arkaik, Homo tipik, hingga Homo progresif. Homo arkaik merupakan manusia purba dengan tingkat evolusi fisik manusia yang masih sederhana dan belum terdapat ciri perubahan fisik yang berarti. Homo tipik merupakan manusia purba yang telah memiliki ciri-ciri fisik semakin berkembang daripada manusia purba yang telah ada sebelumnya. Homo progresif merupakan jenis manusia purba dengan ciri fisiknya telah berkembang lebih pesat dibandingkan dengan Homo arkaik dan Homo tipik (Hermawati, 2005: 70-74).

Sejalan dengan penemuan-penemuan yang diperoleh Von Koenigswald juga diperoleh berbagai temuan alat-alat (artefak) di Sangiran pada tahun 1938. Berbagai artefak tersebut berhasil ditemukan oleh Helmut de Tarra dan Movius yang berupa alat-alat batu. Periode selanjutnya pada tahun 1952, 1953, 1955, dan 1968 yang dilakukan oleh H.R. Van Heekeren, R.P. Soejono, Basuki, dan Gert-Jan Bartstra telah berhasil menemukan lebih dari 70 buah alat serpih (Hardjajanta, 2000: 3-4). Artefak adalah sisa-sisa alat budaya yang dibuat oleh manusia purba pada masa lampau. Dengan ditemukan berbagai artefak tersebut memberikan informasi baru bagi dunia ilmu pengetahuan bahwa manusia purba pada saat itu telah mempunyai kemampuan untuk menciptakan suatu alat.

Penemuan selanjutnya yaitu penemuan berbagai fosil binatang dan fosil tumbuhan yang hidup di Sangiran pada masa purba. Penemuan fosil binatang dan fosil tumbuhan di Sangiran mulai ditemukan pada tahun 1971. Fosil binatang yang ditemukan di Sangiran beragam yaitu mulai dari binatang yang hidup baik di laut maupun di rawa-rawa, reptil, hingga vetebrata. Fosil tumbuhan yang ditemukan di Sangiran berupa fosil kayu terutama pada bagian batang. Jenis temuan fosil binatang dan hewan yang ada di Sangiran memiliki habitat (tempat hidup) yang beragam mulai yang hidup di padang rumput, hutan, laut, rawa-rawa, maupun di daerah bakau (Depdikbud, 1994/1995: 12-32).

Hal tersebut memberikan pengetahuan baru bahwa alam di Sangiran saat itu sering mengalami perubahan karena adanya proses geologi dan berbagai bencana alam yang mengakibatkan terjadi perubahan lingkungan di Sangiran beserta mahkluk hidup yang ada di dalamnya sehingga memunculkan berbagai habitat dan spesies baru baik pada binatang maupun tumbuhan yang hidup di Sangiran saat itu. Pada sekitar tahun 1990-an hingga tahun 2000-an di Sangiran masih dilakukan penelitian secara intensif untuk mencari fosil-fosil oleh para ahli secara perorangan di bawah koordinasi Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jateng. Namun pada tahun 2004 penelitian di Sangiran dilakukan dengan melibatkan beberapa instansi penelitian baik dari dalam maupun luar negeri.

 

C.    MEGANTROPHUS PALEOJAVANICUS

1.      Ciri- Ciri Megantrophus Paleojavanicus

Berikut ini adalah ciri-ciri Megantrophus Paleojavanicus yaitu :

a.       Meganthropus paleojavanicus hidupnya hanya mengandalkan hasil alam sehingga kehidupannya tergantung pada alam.

b.      Cara hidup meganthropus paleojavanicus selalu berpindah tempat karena bertahan hidup dengan mengumpulkan makanan. Ketika sumber makanan di suatu tempat sudah habis, mereka akan berpindah mencari lokasi lainnya.

c.       Memiliki rahang bawah yang tebal dan kuat.

d.      Tubuhnya sangat tegap.

e.       Kening pada Meganthropus Paleojavanicus juga tebal dan menonjol.

f.        Tulang pipi tebal dan menonjol tampak sangat dominan.

g.      Punya otot yang sangat kuat.

h.      Tidak terlihat memiliki dagu, tetapi bagian mulutnya menonjol.

i.        Tulang pada ubun-ubun tampak pendek.

j.        Bentuk hidungnya melebar.

k.      Gigi dan rahang sangat besar sehingga otot kunyahnya sangat kuat.

l.        Bentuk geraham menyerupai manusia.

m.    Volume otaknya sebesar 900 cc.

n.      Tingginya sekitar 2,5 meter.

o.      Cara berjalannya mirip orang utan, yiatu agak membungkuk dengan tangan yang menyangga tubuh.

p.      Tangannya berukuran lebih panjang daripada kakinya.

q.      Menggunakan peralatan memasak yang masih sangat kasar karena dibuat dengan cara yang sangat sederhana, yaitu dengan membenturkan batu dengan yang lain. Pecahan dari benturan batu akan menyerupai kapak. Alat inilah yang kemudian digunakan untuk mengumpulkan makanan dan memasak.

 

2.      Cara Bertahan Hidup

Megantrhropus paleojavanicus bertahan hidup dengan cara mengumpulkan makanan (food gathering) dan hidup dengan berpindah-pindah mengikuti sumber makanan yang tersedia (nomaden). Fosil manusia purba ini ditemukan di kawasan lembah sungai bengawan solo yang menandakan bahwa manusia purba ini hidup berdasarkan letak sumber air dan makanan.

Masa hidup Meganthropus Paleojavanicus diperkirakan berlangsung pada Zaman Pleistosen awal (lapisan bawah). Pola hidupnya masih nomaden alias berpindah-pindah tempat serta mencari makan dengan cara berburu dan meramu. Sayangnya, fragmen fosil yang ditemukan sangat sedikit dan sampai sekarang belum ditemukan alat-alat yang digunakan oleh Meganthropus. Para ahli pun menjadi mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi keberadaan dan kebudayaan yang mereka tinggalkan. Hal ini juga yang memicu perbedaan pendapat di kalangan para ahli tentang Meganthropus. Sebagian ahli menganggapnya sebagai Pithecanthropus, sementara sebagian lainnya meyakininya sebagai Australopithecus. Di Afrika, ditemukan fosil yang berasal dari lapisan yang sama dengan Meganthropus. Di sekitar fosil tersebut, ditemukan peralatan dari batu yang masih kasar, menunjukkan pola kehidupan sangat sederhana. Peralatan tersebut berupa kapak penetak dan alat-alat serpih. Dari temuan tersebut, disimpulkan bahwa kehidupan pada masa itu dilakukan dalam kelompok kecil. Mereka mencari makan dengan berburu binatang dan mengambil tanaman umbi untuk dikumpulkan sebagai persediaan. Fosil yang ditemukan di Afrika ini kemudian digolongkan ke dalam Australopithecus.

Manusia purba berjenis Meganthropus Paleojavanicus hidup dengan cara yang masih pimitif. Kebanyakan dari mereka adalah pemakan tumbuh – tumbuhan sehingga kerap memakan bahan makanan yang tersedia di alam, dengan cara mengumpulkan makanan atau food gathering. Makanan utamanya berasal dari tumbuhan dan buah – buahan. Mereka hidup di zaman batu tua sebagai manusia pendukung zaman palaeolitikum dan belum memiliki tempat tinggal tetap sehingga bergaya hidup nomaden dan berkelompok.

Apabila cadangan makanan di satu tempat sudah habis, maka mereka akan berpindah ke tempat yang baru lagi dimana masih banyak terdapat persediaan makanan karena belum mengenal teknik bercocok tanam. Selain itu cara hidup Meganthropus Paleojavanicus adalah nomaden karena dipengaruhi oleh pergantian musim. Ketika musim kemarau, mereka juga berpindah tempat untuk mencari sumber air yang lebih baik dan memadai, juga karena umbi – umbian yang mulai berkurang karena sumber air yang kurang. Mereka umumnya berlindung di gua – gua secara berkelompok, dan hanya tahu cara makan serta mencari makanan sebagai insting yang mendasar dari makhluk hidup.

Peralatan yang digunakan dalam cara hidup Meganthropus Paleojavanicus masih sederhana terlihat dari jenis artefak yang ditemukan seperti kapak genggam dan kapak perimbas. Alat – alat ini masih sangat kasar karena dibuat dengan sangat sederhana, yaitu dibuat dengan cara membenturkan batu yang satu dan yang lainnya. Pecahan yang dihasilkan dari proses tersebut yang menyerupai kapak akan digunakan sebagai alat untuk memotong dan mengambil makanan. Ketahui juga mengenai pembagian zaman palaeozoikum dan hasil kebudayaan zaman mesolitikum.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter