Iklan

Ad Unit (Iklan) BIG

Pendidkan Kewarganegaraan: Wawasan Nusantara

Post a Comment

1. Pengertian Wawasan Nusantara

Kehidupan suatu bangsa dalam pertumbuhan dan perkembangannya dipengaruhi oleh berbagai faktor yang bersifat timbal balik, baik bersifat fisik maupun yang bersifat nonfisik. Sejalan dengan pemikiran tersebut suatu bangsa akan berusaha menempatkan dirinya sehingga dapat mencapai cita-cita nasionalnya secara maksimal. Oleh karena itu, bangsa yang bersangkutan haruslah memilliki pandangan tentang dirinya dalam hubungan dengan lingkungan yang memungkinkan berlangsungnya berbangsa.

Bangsa Indonesia dalam kehidupan negaranya memilliki suatu wawasan nasional yang disebut Wawasan Nusantara. Hakikat Wawasan Nusantara adalah cara pandang yang utuh dan menyeluruh dalam lingkup nusantara demi kepentingan nasional Indonesia. Atau dengan pengertian yang lengkap, Wawasan Nusantara adalah cara pandang dan sikap Bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya yang serba beragam dan bernilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan dengan tetap menghargai dan menghormati kebhinekaan di dalam setiap aspek kehidupan nasional untuk mencapai tujuan nasional Indonesia.

2. Pentingnya Wawasan Nusantara Bagi Negara dan Bangsa Indonesia

Pentingnya Wawasan Nusantara bagi keberadaan negara dan bangsa Indonesia sekurang-kurangnya dapat dilihat dari 2 (dua) aspek, yaitu aspek fisik geografis wilayah Indonesia dan  aspek  sosial  kultural  masyarakat Indonesia.

Dilihat dari aspek fisik geografis, bahwa wilayah negara Indonesia adalah merupakan negara kepulauan  dengan  ribuan pulau besar kecil di dalamnya. Satu pulau dengan pulau yang lain dipisahkan oleh bentangan laut yang sangat luas. Kondisi fisik geografis yang demikian menjadikan keterpisahan antara satu bagian wilayah negara dengan wilayah negara yang lain dalam negara Indonesia. Di samping itu juga terdapatnya jarak yang sangat jauh antara pusat dengan daerah. Terbawa oleh kondisi fisik geografis tersebut, perlu disadari oleh semua pihak bahwa negara Indonesia sesungguhnya rawan terjadinya  disintegrasi. Kenyataan juga menunjukkan bahwa sepanjang sejarah sejak proklamasi kemerdekaan, pemerintah hampir selalu dihadapkan pada persoalan adanya daerah yang ingin memisahkan diri, terutama dari daerah-daerah ujung wilayah negara yang jauh dari pemerintah pusat.

Sedangkan dari aspek sosio kultural, masyarakat Indonesia diwarnai oleh berbagai macam perbedaan, baik perbedaan suku, agama, kebudayaan daerah, bahasa, dan sebagainya. Kondisi sosio kultural yang demikian menjadikan kehidupan bangsa Indonesia yang menyimpan potensi terjadinya konflik. Kenyataan juga menunjukkan bahwa dalam kehidupan bangsa Indonesia sering terjadi konflik antar kelompok masyarakat yang dilatarbelakangi oleh perbedaan-perbedaan tersebut, walaupun sejauh ini konflik-konflik tersebut masih dalam intensitas sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan perpecahan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Namun demikian kenyataan semacam itu perlu manjadikan perhatian semua pihak agar  dapat mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa.

Dengan kondisi fisik geografis dan kondisi sosio kultural yang demikian, perlu cara pandang yang benar bagi segenap unsur bangsa Indonesia atas kondisi negara dan bangsa tersebut. Cara pandang yang benar itulah yang diajarkan oleh Wawasan Nusantara, yang menyadarkan pada seluruh bangsa Indonesia agar kondisi wilayah negara kepulauan tidak mendorong  terjadinya disintegrasi,  begitu pula kondisi masyarakat yang diwarnai berbagai perbedaan tidak menjadi pemicu terjadinya konflik dalam masyarakat. Sejalan dengan Wawasan Nusantara itu kita perlu memandang segala perbedaan dalam masyarakat bukan sebagai kondisi yang harus dipertentangkan, melainkan sebagai kondisi kekayaan sosio- budaya yang saling mendukung dan saling melengkapi satu sama lain.  Sudah barang tentu  ajaran Wawasan Nusantara sebagaimana dimaksud perlu diikuti oleh adanya kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan negara yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat dan dapat melayani kepentingan berbagai pihak.

3. Dasar pemirikan Historis dan Yuridis Formal: Perkembangan Konsep Wawasan Nusantara

Sehari setelah proklamasi kemerdekaan yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) telah ditetapkan Undang-Undang Dasar Negara yang kemudian dikenal dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun berkenaan dengan wilayah negara, UUD 1945 tidak menentukan batas-batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di dalam Pembukaan UUD 1945 hanya tercantum “segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Dengan demikian, ketentuan ordonansi tahun 1939 tentang batas-batas laut wilayah masih berlaku. Teritorial-Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 menentukan lebar laut wilayah Hindia-Belanda adalah 3 mill diukur dari garis air rendah di pantai setiap pulau. Dalam pekembangan selanjutnya, disadari bahwa ketentuan itu tidak sesuai dengan kepentingan bangsa Indonesia. Sebab dengan wilayah laut teritorial yang hanya 3 mill dari garis air rendah di pantai setiap pulau, antara satu pulau dengan pulau lainnya terdapat lautan bebas. Hal itu jelas mengganggu kepentingan negara Indonesia  terutama dari segi pertahanan dan keamanan, karena di laut bebas kapal-kapal asing dapat masuk-keluar setiap saat tanpa ada yang dapat mempersoalkan, termasuk aparat pertahanan dan keamanan kita.

Menanggapi hal itu pada tanggal 13 Desember 1957 pemerintah Indonesia mengeluarkan pengumuman mengenai wilayah perairan Indonesia yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Juanda, yang menetapkan lebar laut wilayah Indonesia menjadi 12 mill, lebar tersebut diukur dari garis-garis dasar yang menghubungkan titik terluar dari pulau-pulau terluar dalam wilayah Republik Indonesia dan selanjutnya kita sebut dengan Point to Point Theory. Pengumuman pemerintah itu kemudian diundangkan di dalam UU No. 4 tahun 1960 tanggal 18 Pebruari 1960 (Lembaran Negara No. 22 tahun 1960), dan dinyatakan sebagai Ketetapan MPR tahun 1973, 1978, dan 1983, sebagai “Wawasan dalam Mencapai Tujuan Pembangunan” (lihat GBHN 1983).

Dalam pengumuman pemerintah tanggal 13 Desember 1957, telah ditetapkan Azas Nusantara, yang memandang nusantara sebagai suatu kesatuan bulat, penerapan asas tersebut menimbulkan perubahan-perubahan radikal yang sungguh revolusioner dalam tata kelautan Indonesia.

Tata kelautan menurut Ordonansi 1939 mengikuti asas Pulau Demi Pulau. asas ini menjadikan Indonesia menjadi pulau-pulau yang masing-masing dibatasi oleh wilayahnya selebar 3 mill diukur dari pantai pada waktu surut. Dengan demikian, jika jarak antara pulau dengan pulau lebih dari 6 mill, maka di luar laut-laut wilayah itu akan terdapat jalur laut bebas dan di atasnya jalur udara bebas. Jalur bebas ini termasuk kekayaan alamnya, dapat dimanfaatkan secara bebas pula oleh negara mana pun. Asas tersebut sesuai dengan Hukum Laut Internasional yang berlaku sampai 1951.

Dilihat dari segala aspek kehidupan nasional, di antaranya aspek Hankamnas dan ekonomi/sosial, tata kelautan itu sangat tidak menguntungkan bangsa dan negara Indonesia. Anda dapat membayangkan, betapa mudahnya armada negara-negara asing memasuki dan memanfaatkan jalur bebas itu untuk berbagai kepentingan mereka. Belum lagi kalau diingat persaingan antar negara-negara dalam mengambil dan memanfaatkan kekayaan alam dari jalur tersebut: Dapatkah kita memenangkan persaingan itu?

Berdasarkan pertimbangan kesejahteraan dan keamanan untuk menjamin kepentingan nasional negara Indonesia, pemerintah mengeluarkan pengumuman mengenai wilayah perairan Republik Indonesia. Asas nusantara yang diterapkan itu memasukkan kepulauan Indonesia ke dalam satu kesatuan yang bulat utuh. Batas wilayah ditentukan berdasarkan Point to Point Theory yaitu: dengan menarik garis lurus antara titik terluar pulau terluar, yang membentuk garis dasar (lihat peta wilayah Republik Indonesia menurut Asas Nusantara). Lautan di sebelah dalam garis dasar tersebut merupakan perairan dalam Indonesia dan berada di bawah kedaulatan mutlak negara Republik Indonesia.

Asas Nusantara di atas sesuai dengan Archiplegic Principle yang mulai diterima berlakunya berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Internasional tahun 1951, sehubungan dengan sengketa perikanan antara Inggris dan Norwegia (Anglo-Norwegian Fisheries Case).

Pada tahun 1969 pemerintah Indonesia mengeluarkan pengumuman tentag landas kontinen Indonesia sampai kedalaman laut 200 m, yang memuat pokok-pokok sebagai berikut:

a. Segala sumber kekayaan alam yang terdapat kontinen Indonesia adalah millik eksklusif negara Republik Indonesia.

b. Pemerintah Indonesia bersedia menyelesaikan dari garis batas landas kontinen dengan negara-negara tetangga melalui perundingan.

c. Jika tidak ada perjanjian garis batas, maka batas landas kontinen Indonesia ialah suatu garis yang ditarik di tengah-tengah antara pulau terluar Indonesia dan titik terluar wilayah negara tetangga.

d. Tuntutan (claim) di atas tidak mempengaruhi sifat dan status perairan di atas landas kontinen serta udara di atas perairan itu.

e. Tuntutan melalui pengumuman pemerintah di atas merupakan penerapan pasal 33 ayat 3 UUD 1945.

Kalau dibandingkan isi pengumuman tahun 1957 dan tahun 1969, terlihatlah perbedaan mengenai sifat konsep nusantara. Konsep tahun 1957 merupakan konsep kewilayahan, sedang konsep tahun 1969 lebih merupakan konsep politik dan ketatanegaraan. Selanjutnya pada tahun 1980 Indonesia mengumumkan Zone Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) selebar 200 mill dari garis dasar.

Perjuangan Indonesia berkenaan dengan penerapan asas nusantara itu berlangsung selama lebih dari 20 tahun. Tindakan Indonesia menentukan laut teritorial berdasarkan asas nusantara, pada mulanya mendapat banyak tantangan, terutama dari negara-negara besar yang memilliki kemampuan teknologi, peralatan, serta modal. Negara-negara itu kebanyakan menganut paham lautan bebas.

Agar jelas dalam hubungan ini kita bahas dulu beberapa hal yang penting berkenaan dengan hukum laut. Sejak berabad-abad yang lalu telah dikenal dua anggapan pokok mengenai hak atas laut:

a. Res Nullius, yang beranggapan bahwa laut itu tidak ada yang memilliki, sehingga dapat diambil atau dimilliki oleh siapa saja.

b. Res Communis, yang menyatakan bahwa laut itu millik bersama masyarakat dunia, sehingga tidak dapat diambil atau dimilliki oleh siapa pun.

Pada awal abad ke-17 (1609) Grotius, seorang ahli hukum bangsa Belanda, mengemukakan tulisan Mare Liberum (lautan bebas) yang mengatakan bahwa “laut tidak dapat dijadikan millik suatu negara karena tidak dapat dikuasai dengan tindakan okupasi, sehingga dengan demikian, menurut sifatnya, laut adalah bebas dari kedaulatan mana pun”. Tulisan itu ditentang oleh J. Seldon dari Inggris yang menulis Mare Clausum (lautan tertutup), yang menyatakan bahwa lautan itu dapat dikuasai oleh suatu negara. Tentu saja, tulisan-tulisan itu ditulis untuk kepentingan negara/bangsa masing-masing.

Dalam kenyataan sejarah, kita lihat memang ada negara-negara yang menyatakan pemillikannya atas laut tertentu (Portugis, Spanyol, Venisia, Genoa, Swedia, Denmark), meskipun sampai batas-batas tertentu harus memperhitungkan kebebasan berlayar bagi bangsa lain. Pada abad-abad berikutnya diakui hak pemillikan atas laut selebar 3 mill sepanjang pantai. Dalam praktek selanjutnya penentuan lebar laut wilayah ini diikuti dengan penentang jalur tambahan (contiguous zone) untuk berbagai keperluan (perikanan, kesehatan, netralitas, Hankam, Yurisdiksi kriminal, Yurisdiksi sipil). Lebar laut tambahan ini sangat beragam. Amerika Serikat misalnya, menentukan lebar beratur-ratus mill.

Pengumuman Pemerintah tanggal 13 Desember 1957 dibawa ke Konferensi Hukum Laut PBB I/1958. Kebanyakan delegasi dari negara-negara lain kurang dapat memahami permasalahan dan argumentasi Indonesia, karena soalnya memang baru. Kemudian pengumuman itu dituangkan ke dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UU (PERPU) yang dengan UU No. 1 tahun 1961 (Lembaran Negara No. 3/61), ditetapkan menjadi UU No. 4/Prp tahun 1960. Dengan demikian tersusunlah suatu tata lautan Indonesia menurut hukum nasional.

Pada tahun 1960 rumusan-rumusan hukum dalam PERPU No. 4/1960 itu dibawa ke Konperensi Hukum Laut PBB II di Jenewa. Konferensi ini juga belum mampu memberikan pengesahan terhadap “asas negara nusantara” yang diterapkan oleh Indonesia. Pada tanggal  25 Juli 1962 pemerintah mengundangkan PP No. 8/1962 tentang “Lalu-lintas laut damai kendaraan air asing dalam perairan Indonesia”.

Sementara itu, di bidang pertahanan keamanan, sebagai pengaruh konsep-konsep kekuatan yang ada, dianut wawasan yang berdiri sendiri-sendiri. Angkatan Darat memilliki Wawasan Buana, Angkatan Laut memilliki Wawasan Bahari, Angkatan Udara memilliki Wawasan Dirgantara. Hal ini pernah mengakibatkan pergeseran kekuatan di antara angkatan-angkatan itu, yang tentu saja sangat membahayakan negara. Karena itu pimpinan negara dan ABRI segera mengambil tindakan. Pada tahun 1966 diadakan seminar Hankam I yang mengintegrasikan Angkatan darat, Laut, Udara, dan POLRI ke dalam satu wawasan berdasarkan kebulatan dan keutuhan wilayah. Wawasan ini disebut “Wawasan Nusantara”. Pada seminar inilah nama Wawasan Nusantara mulai dipergunakan. Wawasan Nusantara dinyatakan sebagai Wawasan Hankamnas.

Wawasan tersebut mencakup lima pokok perwujudan kepulauan nusantara sebagai satu kesatuan wilayah, satu kesatuan politik, satu kesatuan ekonomi, satu kesatuan sosial-budaya, dan satu kesatuan pertahanan keamanan. Wawasan itu kemudian dijabarkan ke dalam “Rumusan Lemhanas” tahun 1972. Selanjutnya, dalam Ketetapan No. IV MPR tahun 1973, Ketetapan No. IV MPR tahun 1983 Wawasan Nusantara dinyatakan sebagai Wawasan Pembangunan.

Perjuangan wawasan nusantara di dunia internasional ditingkatkan, terutama sesudah Indonesia pada tahun 1971 menjadi anggota penuh Commite on the Peaceful Uses of the Sea-Bed and the Ocean Floor beyond the Limits of National Jurisdiction yang merupakan badan persiapan Konferensi Hukum Laut PBB II. Asas negara kepulauan/wawasan nusantara makin luas dikenal dan makin banyak memperoleh dukungan.

Indonesia belum berhasil sepenuhnya dalam perjuangan di dunia internasional, namun sementara itu beberapa perjanjian berhasil diadakan:

a. Perjanjian Republik Indonesia-Malaysia di Kuala Lumpur pada tanggal 27 Oktober 1969, mengenai landas kontinen Selat Malaka dan Laut Natuna (Laut Cina Selatan); berlaku mulai tanggal 7 November 1969.

b. Republik Indonesia-Thailand, di Bangkok tanggal 17 Desember 1971, mengenai landas kontinen Selat Malaka Utara dan Laut Andaman; berlaku mulai 7 April 1972.

c. Republik Indonesia-Malaysia dan Thailand, di Kuala Lumpur tanggal 21 Desember 1971, mengenai landas kontinen Selat Malaka bagian Utara; berlaku mulai tanggal 16 Juli 1973.

d. Republik Indonesia-Australia, di Canbera tanggal 18 Mei 1971, mengenai penetapan garis batas dasar laut tertentu (Laut Arafuru dan daerah Utara Irian Jaya-Papua Nugini).

e. Republik Indonesia-Singapura, di Jakarta tanggal 25 Mei 1973, mengenai penetapan garis batas laut wilayah; berlaku sejak tanggal 30 Agustus 1974.

f. Republik Indonesia-India, di Jakarta tanggal 8 Agustus 1974; mengenai garis batas landas kontinen Laut Andaman; berlaku sesudah penandatanganan.

g. Republik Indonesia-Australia, di Jakarta tanggal 9 Oktober 1973, mengenai penetapan garis batas daerah-daerah dasar laut di Selatan pulau Tanimbar dan pulau Timer; berlaku mulai tanggal 8 November 1973.

Pada tanggal 21 Maret 1980, pemerintah Indonesia mengumumkan Zone Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) selebar 200 mill diukur dari garis dasar. Pengumuman Pemerintah ini disahkan dengan UU RI No. 5/1983 tanggal 18-11-1983. Ini berarti bahwa segala sumber hayati yang terdapat di bawah permukaan laut, di dasar laut, dan di bawah laut menjadi hak eksklusif negara Republik Indonesia. Akibatnya penangkapan ikan oleh kapal-kapal asing menjadi terbatas daerahnya dan segala kegiatan penelitian, eksplorasi, dan eksploitasi harus memperoleh izin pemerintah Republik Indonesia.

Tindakan sehubungan dengan ZEEI itu dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan. Menurut perkiraan, pada tahun 2000 penduduk dunia akan berlipat jumlahnya sehingga kebutuhan ikan meningkat, sedangkan hasil perikanan tidak mencukupi. Sebagai negara pantai yang masih berkembang, negara Indonesia merasa perlu melindungi sumber-sumber hayati yang berada di luar wilayahnya, untuk menjamin kebutuhan bangsa Indonesia pada masa yang akan datang.

Pada tahun 1982 Konvensi Hukum Laut memberikan perluasan yurisdiksi negara-negara pantai di lautan bebas. Azas Zone Ekonomi Eksklusif diterima. Hal lain yang sangat menguntungkan Indonesia dari konvensi tersebut ialah diterimanya asas nusantara sebagai asas hukum internasional. Hasil konvensi tersebut disahkan pada bulan Agustus 1983 dalam seminar Konvensi Hukum Laut Internasional di New York.

Dengan demikian, sahlah rumusan “Negara Republik Indonesia adalah satu kesatuan wilayah laut yang di dalamnya terhampar 17.508 buah pulau besar dan kecil sebagai satu kewilayahan darat dan dinaungi oleh satu kesatuan wilayah udara”. 

Satu hal lagi yang perlu dibahas sehubungan dengan konsep kewilayahan ialah yang berhubungan dengan kedaulatan atas ruang udara. Dalam hal ini ada beberapa teori:

a. Teori udara bebas (The Air Freedom Theory): Udara bersifat bebas, tidak dimilliki oleh negara tertentu.

b. Teori kedaulatan udara (The Air Seuvereignity Theory): Negara berkedaulatan atas ruang udara di atas wilayah negara.

Pengikut teori bebas terbagi menjadi tiga kelompok aliran:

a. Kebebasan udara tanpa batas: ruang udara dapat digunakan oleh siapa pun, tidak ada yang berhak memillikinya.

b. Kebebasan udara dengan hak khusus negara kolong: negara kolong mempunyai hak-hak khusus yang tidak tergantung pada ketinggian. Pada pertemuan di Gent negara-negara penganut aliran ini memutuskan bahwa negara tidak mempunyai hak apa pun pada waktu perang atau damai; negara kolong hanya dapat mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan kelangsungan hidupnya.

c. Kebebasan dalam udara dengan penetapan wilayah/zone teritorial bagi negara kolong untuk melaksanakan haknya.

Penganut teori kedaulatan udara terkelompok dalam pendapat-pendapat:

a. Negara kolong berdaulat penuh, hanya dibatasi oleh ketinggian tertentu di ruang udara.

b. Negara kolong berdaulat penuh, tetapi dibatasi oleh hak lintas damai bagi pesawat negara asing.

c. Negara kolong berdaulat penuh tanpa batas ke atas.

Konvensi Chicago tahun 1944 menetapkan pengertian ruang udara sebagai jalur ruang udara di atmosfer yang berisi cukup udara yang memungkinkan pesawat udara bergerak. Jarak ketinggian kedaulatan negara di atmosfer ditentukan oleh kesanggupan pesawat udara mencapai ketinggian. Dengan demikian, batas tersebut berubah sesuai dengan kemajuan teknologi. Sehubungan dengan hal ini dikenal teori penguasan Cooper, yang mengemukakan bahwa negara dapat menguasai ruang udara sesuai dengan kemampuannya. Hal ini didasarkan atas ketetapan hukum Konvensi Chicago yang tidak memberikan batas penguasaan udara. Ruang udara di atas laut lepas, bebas untuk segala macam penerbangan. Akan tetapi, teori ruang udara Schachter menyatakan bahwa ketinggian yang dapat dicapai penerbangan oleh manusia ialah 40 mill.

Untuk menentukan batas wilayah udara itu, dikemukakan berebapa cara. Indonesia mengikuti sistem cerobong. Batas wilayah ditarik vertikal dari batas wilayah ke bawah dan ke atas.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter