Iklan

Ad Unit (Iklan) BIG

Pendidikan Antikorupsi: Pendidikan Antikorupsi Perlukah?

Post a Comment

Sejak reformasi bergulir tahun 1998 yang lalu hingga kini, berita tentang korupsi makin gencar. Berbagai harian (surat kabar) di Indonesia hampir tiap hari dalam terbitannya memberitakan peristiwa  korupsi.  Dalam  berita  tersebut,  korupsi  tidak  hanya melanda kehidupan politik, tetapi juga ekonomi dan sosial. Pelaku yang ditindak oleh aparat tidak hanya para pelaku bisnis, tetapi juga mereka yang berasal dari kalangan birokrasi dan pemerintahan, DPR, DPRD, bahkan pula kalangan kampus perguruan tinggi dan sekolah.  Rakyat  kecil  pun,  seperti  pedagang  beras,  pedagang buah,  kondektur  bus,  sopir  angkutan,  dan  tukang  becak  pun turut melakukan korupsi kecil-kecilan. Korupsi tampaknya sudah menjadi budaya masyarakat Indonesia.

Korupsi sesungguhnya bukan merupakan penyakit di luar diri bangsa. Ia adalah penyakit bawaan, sebab benih-benih korupsi sudah ada dalam tubuh bangsa Indonesia tidak hanya pada masa- masa ketika Indonesia dijajah bangsa kolonial, tetapi juga sudah berlangsung pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan nusantara. 

Upaya untuk mencegah meluasnya perbuatan korupsi dan tindakan hukum untuk mengatasinya pun telah dilakukan pada masa kerajaan-kerajaan nusantara. Azra (2006: viii) menulis bahwa pada masa kerajaan Islam nusantara, Undang-Undang Melaka yang digunakan sebagai rujukan hukum di beberapa kerajaan Islam di wilayah Sumatera, secara eksplisit memuat hukum larangan suap-menyuap. Bahkan segala macam hadiah yang diperuntukkan bagi hakim termasuk pemberian makanan dan uang yang bersumber dari baitul  mal  dianggap  sebagai  suap  dan  tegas-tegas  haram hukumnya.

Korupsi  menjadi  salah  satu  masalah  yang  serius  di  tubuh pemerintahan. Ia tidak hanya merupakan masalah lokal, tetapi sudah menjadi fenomena internasional yang memengaruhi seluruh masyarakat  dan  merusak  seluruh  sendi  kehidupan.  Perhatian masyarakat internasional sangat tinggi terhadap fenomena korupsi ini. Komitmen untuk melakukan pemberantasan korupsi didukung oleh lembaga-lembaga pembiayaan dunia, seperti World Bank, ADB, IMF, dan organisasi internasional lainnya seperti OECD dan APEC. 

PBB dalam sidang umum pada tanggal 16 Desember 1996 mendeklarasikan upaya pemberantasan korupsi dalam dokumen United  Nation  Declaration  Against  Corruption  and Bribery  In International Commercial Transaction yang dipublikasikan sebagai resolusi PBB Nomor A/RES/51/59 tanggal 28 Januari 1997. Semangat antikorupsi terus berlanjut, ketika wakil-wakil dari masyarakat 93 negara menyatakan Declaration of 8th International Conference Against Corruption di Lima Peru pada tanggal 11 September 1997. Dalam konferensi tersebut disepakati bahwa untuk memerangi korupsi  diperlukan  kerjasama  antara  masyarakat, dunia  usaha, dan pemerintah. Butir-butir kesepakatan lainnya yang penting, diantaranya adalah semua penyelenggaraan pemerintahan harus dilakukan secara transparan dan akuntabel serta harus menjamin independensi, integritas, dan depolitisasi sistem peradilan sebagai bagian penting dari tegaknya hukum yang akan menjadi tumpuan dari  semua  upaya  pemberantasan  korupsi  secara  efektif.  PBB terus  berupaya  menebar  semangat  antikorupsi  kepada  semua bangsa di dunia, hingga pada tahun 2003 menetapkan konvensi melawan korupsi (United Nations Convention Against Corruption). United Nations Convention Against Corruption 2003 tersebut oleh pemerintah Indonesia  disahkan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. 

Dalam  preambul  konvensi  tersebut  diungkapkan  adanya keprihatinan  atas  keseriusan  masalah  dan  ancaman  yang ditimbulkan  oleh  korupsi  terhadap  stabilitas  dan  keamanan masyarakat  yang  merusak  lembaga-lembaga  dan  nilai-nilai demokrasi,  nilai-nilai  etika  dan  keadilan  serta  mengacaukan pembangunan  yang  berkelanjutan  dan  penegakan  hukum. Konvensi  juga prihatin terhadap  hubungan antara korupsi dan bentuk-bentuk kejahatan lain, khususnya kejahatan terorganisasi dan kejahatan ekonomi termasuk pencucian uang.

Korupsi yang sudah berlangsung lama sejak Indonesia kuno, madya,  hingga  modern  tampaknya  telah  membudaya.  Bahkan Azra (2006: viii) memandang kultur korupsi telah sampai pada level yang membahayakan bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia. Bahkan secara universal boleh dikata korupsi sama tuanya dengan umur manusia atau paling tidak sejak adanya organisasi negara, korupsi muncul mengiringinya. Korupsi muncul  menyertai  kelahiran  negara,  sebab  negara  memiliki kekuasaan (power) yang jika tidak amanah akan dengan mudah diselewengkan.  Persoalan  ini  sudah  diungkap  oleh  Lord  Acton dalam pernyataannya yang terkenal “power tend to corrupt and absolute power tend corrupts absolutely”.

Indonesia bukannya tidak berupaya memberantas korupsi. Sejak era orde lama, orde baru, hingga era reformasi, pemerintah berusaha  keras  melakukan  pemberantasan  korupsi.  Pada masa orde baru bahkan telah dikeluarkan TAP MPR mengenai pemberantasan  korupsi  dan  puncaknya  pada  tahun  1971 pemerintah  Indonesia  mengeluarkan  Undang-Undang  Nomor 3  Tahun  1971.  Meskipun  sudah  ada  undang-undang  dan  tim khusus yang dibentuk Presiden Soeharto untuk menangani kasus- kasus korupsi, perbuatan korupsi masih saja dilakukan oleh para pengkhianat bangsa. Bahkan Soeharto turun dari jabatan, karena disinyalir  ada  indikasi  KKN.  Agenda  pemberantasan  KKN  yang diusung oleh para mahasiswa pada tahun 1998 telah mendorong Soeharto untuk mengundurkan diri dari jabatannya. 

Masyarakat mengira bahwa korupsi sebagai penyakit kronis orde baru bakal hilang seiring dengan lengsernya Soeharto beserta kroni-kroninya.  Dugaan  masyarakat  ternyata  meleset,  karena penyakit  korupsi  tersebut  ternyata  telah  bermutasi  menjadi neokorupsi pada masa reformasi. Bahkan boleh dibilang korupsi makin menjadi-jadi pada masa reformasi. Jika pada masa orde baru, orang melakukan korupsi secara sembunyi-sembunyi atau di bawah meja, sedangkan pada masa reformasi, korupsi dilakukan secara terang-terangan atau dilakukan di atas meja. 

Makin   kronisnya   tindak   korupsi   ini   mendorong   MPR mengeluarkan  Ketetapan  MPR  Nomor  XI/MPR/1998  tentang Penyelenggara  Negara  Yang  Bersih  dan  Bebas  Korupsi,  Kolusi, dan  Nepotisme.  Salah  satu  dasar  pertimbangan  (konsiderans) dikeluarkannya TAP MPR ini adalah bahwa dalam penyelenggaraan negara  telah  terjadi  praktik-praktik  usaha  yang  lebih menguntungkan sekelompok tertentu yang menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para pejabat negara dengan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi penyelenggaraan negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional. 

Sebagai  tindak  lanjut  dari  TAP  MPR  tersebut,  Pemerintah bersama DPR menetapkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak  Pidana  Korupsi.  Salah  satu  dasar  pertimbangan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun  1999 adalah bahwa  korupsi,  kolusi,  dan  nepotisme  tidak  hanya  dilakukan antarpenyelenggara negara, melainkan juga antara penyelenggara negara dan pihak lain yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta membahayakan eksistensi  negara,  sehingga  diperlukan  landasan  hukum  untuk pencegahannya (Pembinaan Jaringan Kerjasama Antar Komisi dan Instansi KPK 2006: 153). 

Upaya  untuk  mencegah  dan  memberantas  korupsi  dalam UU  Nomor  28  tersebut  dituangkan  dalam  pasal  5  mengenai kewajiban penyelenggara negara. Beberapa kewajiban tersebut diantaranya:  bersedia  diperiksa  kekayaannya  sebelum,  selama, dan setelah menjabat (ayat 2), melaporkan dan  mengumumkan kekayaannya  sebelum  dan  setelah  menjabat  (ayat  3),  tidak melakukan  perbuatan  korupsi,  kolusi,  dan  nepotisme  (ayat  4), dan  melaksanakan  tugas  dengan  penuh  rasa  tanggung  jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni,  maupun kelompok dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (ayat  6).  Dengan  pengaturan  yang  jelas  mengenai  kewajiban penyelenggara  negara  terutama  yang  bersinggungan  dengan masalah  KKN  tersebut,  diharapkan  para  penyelenggara  negara dapat menjalankan tugas dan kewajibannya secara profesional disertai rasa tanggung jawab yang tinggi, sehingga pada gilirannya masyarakat dapat menikmati hak-haknya secara baik dan roda pembangunan berjalan lancar. 

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai perubahan dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan juga merupakan kelanjutan  dari  Undang-Undang  Nomor  3  Tahun  1971  dalam konsideransnya menyatakan bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara,  tetapi  juga  merupakan  pelanggaran  terhadap  hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. 

Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi menurut UU Nomor 20 Tahun 2001 cukup berat. Misalnya, jika seseorang memberi  atau  menjanjikan  sesuatu  kepada  hakim  dengan maksud untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili, maka yang bersangkutan dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (pasal 6 ayat (1) a). Sanksi yang dijatuhkan bagi koruptor tersebut, dalam realitasnya  tidak  menyurutkan  langkah  dan  kenekatan  para koruptor atau calon koruptor baru. Itulah sebabnya, Pemerintah bersama DPR menetapkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).

Pembuat  Undang-Undang  KPK  menyadari  bahwa  lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi saat ini,  seperti  kepolisian  dan  kejaksaan,  belum  berfungsi  secara efektif  dan  efisien  dalam  memberantas  tindak  pidana  korupsi. Tidak  jarang  oknum-oknum  dari  kedua  lembaga  tersebut berlepotan  oli  hitam  korupsi  yang  melumuri  wajah,  tangan, badan, dan kaki mereka, sehingga tidak mungkin mereka mampu membersihkan  diri  dengan  sabun  antikorupsi.  Oleh  karenanya dibutuhkan sebuah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas  dan  wewenangnya  bersifat  independen  dan  bebas  dari pengaruh kekuasaan manapun. Lembaga tersebut adalah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau disingkat KPK. 

Lembaga  yang  dibentuk  dengan  menelan  biaya  tidak kurang  dari  Rp  6,4  miliar  tersebut  kehadirannya  tidak  sia-sia. Kenyataannya, sejak  KPK dibentuk, banyak pejabat negara seperti menteri, anggota DPR/MPR,  pejabat kepolisian  dan  kejaksaan, gubernur,  bupati/wali  kota,  politisi,  dan  para  pengusaha  kelas kakap,  ditangkap  dan  dijebloskan  ke  dalam  penjara.  Prestasi tersebut  tidak  pernah  dicapai  oleh  kepolisian  dan  kejaksaan meskipun mereka sudah lama eksis. Perhatian dan dukungan yang besar dari masyarakat dan lembaga-lembaga antikorupsi kepada KPK, makin memantapkan tekat dan langkah KPK memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya.

Sebagaimana sudah diuraikan sebelumnya bahwa keberadaan lembaga-lembaga penegak hukum terhadap tindak pidana korupsi ternyata  belum  menyurutkan  nyali  koruptor  untuk  mencuri atau merampok harta negara dan rakyat demi kepentingan diri, keluarga, dan kelompok mereka.  Upaya-upaya kuratif memang memberikan hasil seketika dan memberi efek jera yang hebat, namun  karena  spektrum  perilaku  korupsi  yang  demikian  luas, maka  diperlukan  upaya  lain  yang  hasilnya  tidak  bisa  dilihat sekarang, yakni melalui pendidikan antikorupsi. 

Pendidikan antikorupsi yang dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 ditangani oleh Subbidang Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat  merupakan  pilar  penting  dari  Bidang  Pencegahan KPK. Adanya Bidang Pencegahan KPK yang membawahi Subbidang Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat akan memperkuat tugas KPK terutama dalam hal melakukan tindakan-tindakan pencegahan terhadap tindak pidana korupsi. 

Dalam kaitan persoalan di atas, muncul pertanyaan apakah pendidikan  antikorupsi  efektif  untuk  melakukan  pencegahan terhadap tindak pidana korupsi, mengingat korupsi sudah seperti tulang  dan  daging  dalam  kehidupan  masyarakat,  bangsa,  dan negara  Indonesia.  Sebagaimana  diketahui  bahwa  sudah  ada lembaga  penegak  hukum  andal  seperti  Kepolisian,  Kejaksaan, dan KPK serta sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku pun berat baik dari sisi lama pidananya maupun jumlah denda yang harus dibayar, namun korupsi tetap ada di mana-mana bahkan menyebar dan meluas ke relung-relung kehidupan yang dulu tidak pernah dibayangkan akan masuk. Masih perlukah tindakan pencegahan, berupa pendidikan antikorupsi? 

Pendidikan antikorupsi mutlak diperlukan untuk memperkuat pemberantasan  korupsi  yang  sedang  berjalan,  di  antaranya melalui  reformasi  sistem  (constitutional  reform)  dan  reformasi kelembagaan  (institutional  reform)  serta  penegakan  hukum (law  enforcement).  Menurut  Azra  (2006:  viii),  pendidikan antikorupsi  merupakan  upaya  reformasi  kultur  politik  melalui sistem  pendidikan  untuk  melakukan  perubahan  kultural  yang berkelanjutan,  termasuk  untuk  mendorong  terciptanya  good governance culture di sekolah dan perguruan tinggi. 

Sekolah  atau  perguruan  tinggi  dapat  mengambil  peran strategis dalam melaksanakan pendidikan antikorupsi terutama dalam membudayakan perilaku antikorupsi di kalangan siswa dan mahasiswa. Melalui pengembangan kultur sekolah, diharapkan siswa-siswa memiliki modal sosial untuk membiasakan berperilaku antikorupsi. Pendidikan antikorupsi seyogyanya diberikan kepada anak-anak paling tidak sejak mereka duduk di bangku SD. Anak- anak SD yang berusia antara 7 hingga 12 tahun dapat berpikir transformasi revesible atau dapat dipertukarkan dan kekekalan (Disiree 2008: 2).  Mereka dapat mengerti adanya perpindahan benda. Mereka mampu membuat klasifikasi dalam level konkret. Anak-anak dapat memahami persoalan sebab akibat yang bersifat konkret. Itulah sebabnya, kepada mereka dapat dikenalkan suatu tindakan dengan akibat yang baik dan yang tidak baik. Berikut ini merupakan alasan (reasoning) mengapa pendidikan antikorupsi perlu  diberikan  sejak  dini,  terutama    kepada  anak-anak  yang duduk di bangku SD.

1. Siswa belum mendapatkan informasi dan sosialisasi tentang antikorupsi.  Untuk  itu,  mereka  perlu  dikenalkan  terlebih dahulu nilai-nilai konkret yang diyakini akan dapat melawan tindakan korupsi;

2. Kurangnya  keteladanan  dari  lingkungan  (orang  tua,  guru, orang dewasa di sekitar, dan media). Keteladanan dari orang- orang  terdekat  dan  di  sekitarnya  akan  sangat  membantu dalam  proses  penanaman  nilai  atau  budi  pekerti  yang diharapkan dapat diterapkan dalam kegiatan mereka sehari- hari;

3. Adanya  kompetisi  yang  kurang  sehat  antarsiswa.  Upaya menghindari kompetisi yang kurang sehat dalam pergaulan mereka di  sekolah dapat dilakukan dengan menanamkan nilai- nilai sekolah, seperti saling menghargai, saling menghormati, kesederhanaan, dan tidak pamer. Bahkan jika perlu sekolah dapat memberi penghargaan kepada siswa yang berperilaku terpuji;

4. Sekolah tidak menerapkan aturan yang jelas dan konsisten. Itulah sebabnya, aturan sekolah harus dibuat bersama antara guru, orang tua, dan siswa, supaya siswa merasa ikut memiliki dan bertanggung jawab terhadapnya. Sementara itu, guru dan orang tua berperan sebagai fasilitator dan pengawas. Jika ada yang melanggar aturan sekolah, yang bersalah harus diberi hukuman sesuai dengan tingkat kesalahannya;

5. Pembelajaran di sekolah masih didominasi oleh aspek kognitif. Pembelajaran seperti ini kurang mampu membentuk karakter siswa. Untuk itu, perlu dikembangkan pembelajaran afektif yang  bersifaf  aplikatif  dengan  model-model  pembelajaran yang  dikuasai  guru,  sehingga  pembelajaran  kognitif  akan dapat dikawal untuk mewujudkan tujuan pendidikan sekolah dasar. Metode dongeng, permainan (games), dan simulasi/ sosiodrama dapat diterapkan dalam pembelajaran afektif di sekolah.


Bagaimana  membangun  nilai-nilai  antikorupsi  di  kalangan siswa-siswa SMP. Siswa-siswa SMP yang berusia antara 13 hingga 15  memiliki  karakter  yang  tidak  jauh  berbeda  dengan  anak- anak SD kelas V dan VI. Proses pembelajaran antikorupsi kepada mereka  diarahkan  untuk  mempersiapkan  siswa  menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dalam setiap sikap dan perilakunya. Itulah sebabnya, KPK bersama guru-guru SMP di Jakarta dan sekitarnya menyusun modul pendidikan antikorupsi untuk SMP/MTs. Melalui modul ini, diharapkan siswa dapat menjadi agen perubahan sosial (masyarakat)  yang  kelak  akan  mampu  mengubah  masyarakat Indonesia menjadi masyarakat antikorupsi.

Materi yang diangkat dalam pendidikan antikorupsi di SMP/ MTs  dikenal  dengan  9  karakter  pelajar,  yaitu  tanggung  jawab, disiplin, jujur (merupakan nilai inti bagi pelajar), sederhana, kerja keras, mandiri (sebagai etos atau gaya hidup yang harus dimiliki oleh generasi penerus), adil, berani, dan peduli (sebagai sikap kepada orang lain). Sesuai dengan modul yang disusun tersebut, hasil akhirnya adalah siswa: (1) mempunyai karakter yang luhur yang menjunjung tinggi nilai-nilai tanggung jawab, disiplin, jujur, sederhana,  kerja  keras,  mandiri,  adil,  berani,  dan  peduli;  (2) mampu memenuhi komitmen sebagai pelajar yang menjunjung tinggi nilai-nilai tanggung jawab, disiplin, jujur, sederhana, kerja keras, mandiri, adil, berani, dan peduli dalam masyarakat dan menjadi suri teladan dalam menciptakan masyarakat antikorupsi (Bahri, 2008: 6).

Pendidikan antikorupsi pada jenjang pendidikan dasar pun dilaksanakan di berbagai negara baik di daratan Eropa, Afrika, Asia, Amerika maupun Australia. Di dunia telah dibentuk pula jaringan kerjasama antarnegara untuk mengenalkan program pendidikan antikorupsi. Salah satu contoh pendidikan antikorupsi adalah apa yang telah dilaksanakan oleh China. Melalui China on line, seluruh siswa pada jenjang pendidikan dasar diberikan mata pelajaran pendidikan  antikorupsi,  yang  tujuannya  adalah  memberikan vaksin kepada pelajar dari bahaya korupsi. Dalam jangka panjang generasi muda China bisa melindungi diri di tengah gempuran pengaruh kejahatan korupsi (Suyanto, 2005: 42).

Pendidikan antikorupsi dilakukan secara berkesinambungan dan  pada  tingkat  sekolah  dilaksanakan  hingga  SMA/SMK/MA. Fokus awal dari pendidikan antikorupsi adalah siswa menghayati, memahami  nilai  moral,  dan  membentuk  perilaku  hingga  nilai-nilai tersebut terbentuk secara internal melalui kebiasaan. Tujuan akhirnya adalah perilaku yang berdasarkan nilai-nilai positif tersebut ditularkan dan diterapkan di lingkungan sosial kemasyarakatan. Mengapa  pendidikan  antikorupsi  juga  perlu  diberikan  kepada siswa-siswa  SMA/SMK/MA?  Sebagaimana  diketahui  siswa-siswa SMA dan sederajat berada tahap perkembangan remaja pertengahan,  dimana  perkembangan  intelektualnya  menurut Piaget berada pada tahap formal operations, saat dimana siswa memiliki kemampuan berpikir abstrak dengan berpikir hipotetis, sehingga mereka mampu membayangkan berbagai kemungkinan penyelesaian masalah (Tamrin, 2008: 1).

Siswa-siswa  SMA  seperti  halnya  kebanyakan  anak-anak pada  tahap  remaja  pertengahan  memiliki  karakteristik  khusus dalam proses pembentukan moral, yaitu: (1) mengembangkan idealisme, (2) memiliki tokoh sebagai contoh, (3) lebih konsisten berbuat  sesuai  prinsip  yang  diyakini,  dan  (4)  lebih  mampu menetapkan tujuan sesuai ketertarikannya pada moral (Tamrin, 2008:  4).  Seperti  halnya  alasan  yang  dikemukakan  berkaitan dengan perlunya pendidikan antikorupsi diberikan kepada anak-anak SD, kondisi berikut juga menjadi alasan pembenar mengapa pendidikan antikorupsi perlu juga ditanamkan kepada siswa-siswa SMA.

1. Pembelajaran  afektif  belum  diterapkan  dengan  benar dan  optimal.  Umumnya  pembelajaran  di  SMA  cenderung bersifat  kognitif,  sehingga  dalam  pembelajaran  atau pascapembelajaran  siswa  tidak  mampu  membiasakan  diri berperilaku baik dan benar;

2. Kurangnya  keteladanan  dari  lingkungan  (orang  tua,  guru, orang dewasa di sekitar, pejabat pemerintahan, public figure, dan media). Itulah sebabnya, perkataan, sikap, dan perilaku dari  orang-orang  terdekat  harus  dapat  menjadi  contoh keteladanan bagi siswa atau anak. Jika tidak, maka anak-anak akan bertindak tanpa arah dan bahkan dapat menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku, meskipun kadang-kadang hal tersebut tidak disadarinya;

3. Adanya kompetisi yang tidak sehat di kalangan anak-anak SMA. Anak-anak berasal dari keluarga dengan latar belakang status, kedudukan, dan lapisan yang beraneka ragam. Gaya hidup siswa-siswa dari golongan kaya bukan tidak mungkin akan menimbulkan kecemburuan dari mereka yang berasal dari golongan di bawahnya. Hal ini jika tidak dikendalikan akan dapat menimbulkan suasana pergaulan yang tidak sehat dan kondisi ini akan dapat merusak nilai-nilai moral anak;

4. Sekolah  belum  dapat  menerapkan  aturan  secara  jelas, tegas, dan konsisten. Jika sekolah tidak menerapkan aturan secara tegas, kondisi seperti ini akan melahirkan kebiasaan berperilaku menyimpang. Oleh karena itu, untuk memupuk nilai-nilai ketaatan pada diri siswa, sekolah harus menerapkan aturan secara konsisten. Bagi mereka yang salah harus segera ditindak sesuai dengan tingkat kesalahannya;

5. Siswa-siswa  SMA  mempunyai  bobot  tanggung  jawab  yang lebih besar daripada siswa-siswa di bawahnya, seperti materi pelajaran  yang  makin  sulit,  tugas-tugas  pekerjaan  rumah yang  makin  banyak,  dan  keterlibatannya  dalam  kegiatan OSIS. Sistem pengawasan sekolah terhadap kegiatan siswa baik dalam kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler kurang berjalan sebagaimana mestinya. Hal tersebut dapat mengakibatkan  perilaku  siswa  tidak  terkontrol,  misalnya melakukan kecurangan dalam tes atau ujian. Itulah sebabnya,  pendidikan  antikorupsi melalui  pengembangan  nilai-nilai luhur perlu disemaikan kepada mereka, baik dalam kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler;

6. Belum  banyak  sekolah,  baik  SMP  maupun  SMA  yang memperoleh  informasi  dan  sosialisasi  tentang  pendidikan antikorupsi. Pada level SMA, melalui pendidikan antikorupsi, siswa-siswa diharapkan mampu melakukan analisis, mencari berbagai  alternatif  pemecahan  masalah,  menghindari  dan melawan perilaku korupsi yang terjadi di sekitarnya.

Upaya pemberantasan korupsi, terutama dalam hal pencegahan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), disambut positif  oleh  Departemen  Pendidikan  Nasional.  Dalam  Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006  tentang  Standar  Isi  untuk  Satuan  Pendidikan  Dasar  dan Menengah, substansi materi pendidikan antikorupsi dirumuskan dalam kurikulum kelas V semester I, kelas VIII semester I dan kelas X semester I. Meskipun tidak dicantumkan ke seluruh semester dari jenjang sekolah dasar hingga menengah, tetapi upaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan patut diapresiasi karena hal tersebut dapat memberikan landasan moral dan sosial kepada siswa agar mereka memiliki kebiasaan berperilaku antikorupsi. 

Dalam sejarah Indonesia, kehadiran mahasiswa tidak pernah lepas dari peran sentral yang dimainkan. Mulai dari Soetomo, Soekarno, Hatta, Akbar Tanjung, Rachman Tolleng, Fahmi Idris, Hariman  Siregar,  hingga  Rama  Pratama  menjadi  pelopor  pada zamannya  masing-masing  dalam  menggerakkan  perubahan sosial politik di Indonesia. Sebagaimana diungkapkan oleh Saidi (1989: 20), bahwa sejak Indonesia mempunyai mahasiswa berkat dibukanya  pendidikan  tinggi  pada  awal  abad  ke-20,  mereka sudah mempunyai kesadaran politik. Kesadaran politik ini tidak ditujukan  untuk  meraih  kekuasaan  politik,  tetapi  dimaksudkan untuk menggugah kesadaran kaum pribumi akan pentingnya roh keindonesiaan dan sekaligus meningkatkan harkat martabat dan derajat kaum pribumi. Betapa mulia tujuan gerakan mahasiswa dan pemuda pada masa itu.

Sepanjang  sejarah  Indonesia,  mahasiswa  berpolitik  karena lemahnya  lembaga  politik  atau  karena  lembaga  tersebut memerlukan  mahasiswa  sebagai  kader  pemimpin.  Banyak  di antara aktivis-aktivis gerakan mahasiswa yang selanjutnya menjadi pemimpin, baik di lembaga legislatif, eksekutif, maupun di dalam partai-partai politik. Tidak sembarang mahasiswa dapat menjadi pemimpin. Mereka sudah berbekal pengalaman organisasi yang cukup matang, dilandasi oleh nilai-nilai tanggung jawab, kejujuran, solidaritas, keberanian, kepedulian, dan lain-lain. Nilai-nilai inilah yang  mengantarkan  mereka  menjadi  pemimpin  yang  disegani pada masanya. 

Mahasiswa  pada  masa  kini  pun  semestinya  mewarisi  jiwa kepemimpinan  mahasiswa  dan  pemuda  generasi  sebelumnya. Kepemimpinan  sangat  dibutuhkan  mahasiswa,  karena  bangsa dan negara ini memerlukan kehadirannya. Selain itu, kompleksitas permasalahan  dan  tantangan  yang  dihadapi  bangsa  Indonesia ke  depan,  sangat  membutuhkan  mahasiswa  yang  memiliki karakter unggul, baik karakter intelektual, emosional, spiritual, maupun moral. Dalam situasi bangsa dan negara yang mengalami krisis  kepercayaan,  krisis  moralitas,  dan  krisis  kepemimpinan, maka  sudah  selayaknya  mahasiswa  mendapatkan  pendidikan antikorupsi. 

Pendidikan  antikorupsi  dibutuhkan,  karena  akan  dapat membentuk  karakter  mahasiswa  yang  unggul,  sekaligus  juga diharapkan pada saatnya nanti ketika menjadi pemimpin dapat dipertanggungjawabkan  kepemimpinannya.  Apalagi  pada  diri mahasiswa terdapat 3 (tiga) dimensi yang harus diasah secara berkelanjutan,  yaitu:  (1)  intelektual,  (2)  jiwa  muda,  dan  (3) idealisme (Saidi, 1989: 27). Ketiga dimensi atau karakter tersebut sangat diperlukan agar mahasiswa mampu memberikan kontribusi penting  dalam  menciptakan  Indonesia  yang  unggul,  bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.   

Perlunya pendidikan antikorupsi diberikan di perguruan tinggi baik sebagai mata kuliah tersendiri maupun terintegrasi dengan mata kuliah yang lain, secara khusus ditujukan untuk memberi bekal  pengetahuan  sekaligus  mentransformasikan  mahasiswa sebagai agen antikorupsi yang memiliki kompetensi dan komitmen moral yang tinggi (Azra, 2006: viii). Kompetensi dan komitmen ini selanjutnya ditransformasikan lagi ke dalam bentuk nilai-nilai dan gerakan antikorupsi kepada masyarakat dan generasi di bawahnya.

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter