Sejak reformasi bergulir tahun 1998 yang lalu hingga kini, berita tentang korupsi makin gencar. Berbagai harian (surat kabar) di Indonesia hampir tiap hari dalam terbitannya memberitakan peristiwa korupsi. Dalam berita tersebut, korupsi tidak hanya melanda kehidupan politik, tetapi juga ekonomi dan sosial. Pelaku yang ditindak oleh aparat tidak hanya para pelaku bisnis, tetapi juga mereka yang berasal dari kalangan birokrasi dan pemerintahan, DPR, DPRD, bahkan pula kalangan kampus perguruan tinggi dan sekolah. Rakyat kecil pun, seperti pedagang beras, pedagang buah, kondektur bus, sopir angkutan, dan tukang becak pun turut melakukan korupsi kecil-kecilan. Korupsi tampaknya sudah menjadi budaya masyarakat Indonesia.
Korupsi sesungguhnya bukan merupakan penyakit di luar diri bangsa. Ia adalah penyakit bawaan, sebab benih-benih korupsi sudah ada dalam tubuh bangsa Indonesia tidak hanya pada masa- masa ketika Indonesia dijajah bangsa kolonial, tetapi juga sudah berlangsung pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan nusantara.
Upaya untuk mencegah meluasnya perbuatan korupsi dan tindakan hukum untuk mengatasinya pun telah dilakukan pada masa kerajaan-kerajaan nusantara. Azra (2006: viii) menulis bahwa pada masa kerajaan Islam nusantara, Undang-Undang Melaka yang digunakan sebagai rujukan hukum di beberapa kerajaan Islam di wilayah Sumatera, secara eksplisit memuat hukum larangan suap-menyuap. Bahkan segala macam hadiah yang diperuntukkan bagi hakim termasuk pemberian makanan dan uang yang bersumber dari baitul mal dianggap sebagai suap dan tegas-tegas haram hukumnya.
Korupsi menjadi salah satu masalah yang serius di tubuh pemerintahan. Ia tidak hanya merupakan masalah lokal, tetapi sudah menjadi fenomena internasional yang memengaruhi seluruh masyarakat dan merusak seluruh sendi kehidupan. Perhatian masyarakat internasional sangat tinggi terhadap fenomena korupsi ini. Komitmen untuk melakukan pemberantasan korupsi didukung oleh lembaga-lembaga pembiayaan dunia, seperti World Bank, ADB, IMF, dan organisasi internasional lainnya seperti OECD dan APEC.
PBB dalam sidang umum pada tanggal 16 Desember 1996 mendeklarasikan upaya pemberantasan korupsi dalam dokumen United Nation Declaration Against Corruption and Bribery In International Commercial Transaction yang dipublikasikan sebagai resolusi PBB Nomor A/RES/51/59 tanggal 28 Januari 1997. Semangat antikorupsi terus berlanjut, ketika wakil-wakil dari masyarakat 93 negara menyatakan Declaration of 8th International Conference Against Corruption di Lima Peru pada tanggal 11 September 1997. Dalam konferensi tersebut disepakati bahwa untuk memerangi korupsi diperlukan kerjasama antara masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah. Butir-butir kesepakatan lainnya yang penting, diantaranya adalah semua penyelenggaraan pemerintahan harus dilakukan secara transparan dan akuntabel serta harus menjamin independensi, integritas, dan depolitisasi sistem peradilan sebagai bagian penting dari tegaknya hukum yang akan menjadi tumpuan dari semua upaya pemberantasan korupsi secara efektif. PBB terus berupaya menebar semangat antikorupsi kepada semua bangsa di dunia, hingga pada tahun 2003 menetapkan konvensi melawan korupsi (United Nations Convention Against Corruption). United Nations Convention Against Corruption 2003 tersebut oleh pemerintah Indonesia disahkan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.
Dalam preambul konvensi tersebut diungkapkan adanya keprihatinan atas keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum. Konvensi juga prihatin terhadap hubungan antara korupsi dan bentuk-bentuk kejahatan lain, khususnya kejahatan terorganisasi dan kejahatan ekonomi termasuk pencucian uang.
Korupsi yang sudah berlangsung lama sejak Indonesia kuno, madya, hingga modern tampaknya telah membudaya. Bahkan Azra (2006: viii) memandang kultur korupsi telah sampai pada level yang membahayakan bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia. Bahkan secara universal boleh dikata korupsi sama tuanya dengan umur manusia atau paling tidak sejak adanya organisasi negara, korupsi muncul mengiringinya. Korupsi muncul menyertai kelahiran negara, sebab negara memiliki kekuasaan (power) yang jika tidak amanah akan dengan mudah diselewengkan. Persoalan ini sudah diungkap oleh Lord Acton dalam pernyataannya yang terkenal “power tend to corrupt and absolute power tend corrupts absolutely”.
Indonesia bukannya tidak berupaya memberantas korupsi. Sejak era orde lama, orde baru, hingga era reformasi, pemerintah berusaha keras melakukan pemberantasan korupsi. Pada masa orde baru bahkan telah dikeluarkan TAP MPR mengenai pemberantasan korupsi dan puncaknya pada tahun 1971 pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. Meskipun sudah ada undang-undang dan tim khusus yang dibentuk Presiden Soeharto untuk menangani kasus- kasus korupsi, perbuatan korupsi masih saja dilakukan oleh para pengkhianat bangsa. Bahkan Soeharto turun dari jabatan, karena disinyalir ada indikasi KKN. Agenda pemberantasan KKN yang diusung oleh para mahasiswa pada tahun 1998 telah mendorong Soeharto untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Masyarakat mengira bahwa korupsi sebagai penyakit kronis orde baru bakal hilang seiring dengan lengsernya Soeharto beserta kroni-kroninya. Dugaan masyarakat ternyata meleset, karena penyakit korupsi tersebut ternyata telah bermutasi menjadi neokorupsi pada masa reformasi. Bahkan boleh dibilang korupsi makin menjadi-jadi pada masa reformasi. Jika pada masa orde baru, orang melakukan korupsi secara sembunyi-sembunyi atau di bawah meja, sedangkan pada masa reformasi, korupsi dilakukan secara terang-terangan atau dilakukan di atas meja.
Makin kronisnya tindak korupsi ini mendorong MPR mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Salah satu dasar pertimbangan (konsiderans) dikeluarkannya TAP MPR ini adalah bahwa dalam penyelenggaraan negara telah terjadi praktik-praktik usaha yang lebih menguntungkan sekelompok tertentu yang menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para pejabat negara dengan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi penyelenggaraan negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional.
Sebagai tindak lanjut dari TAP MPR tersebut, Pemerintah bersama DPR menetapkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 adalah bahwa korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak hanya dilakukan antarpenyelenggara negara, melainkan juga antara penyelenggara negara dan pihak lain yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta membahayakan eksistensi negara, sehingga diperlukan landasan hukum untuk pencegahannya (Pembinaan Jaringan Kerjasama Antar Komisi dan Instansi KPK 2006: 153).
Upaya untuk mencegah dan memberantas korupsi dalam UU Nomor 28 tersebut dituangkan dalam pasal 5 mengenai kewajiban penyelenggara negara. Beberapa kewajiban tersebut diantaranya: bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat (ayat 2), melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat (ayat 3), tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme (ayat 4), dan melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (ayat 6). Dengan pengaturan yang jelas mengenai kewajiban penyelenggara negara terutama yang bersinggungan dengan masalah KKN tersebut, diharapkan para penyelenggara negara dapat menjalankan tugas dan kewajibannya secara profesional disertai rasa tanggung jawab yang tinggi, sehingga pada gilirannya masyarakat dapat menikmati hak-haknya secara baik dan roda pembangunan berjalan lancar.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai perubahan dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan juga merupakan kelanjutan dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dalam konsideransnya menyatakan bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.
Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi menurut UU Nomor 20 Tahun 2001 cukup berat. Misalnya, jika seseorang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili, maka yang bersangkutan dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (pasal 6 ayat (1) a). Sanksi yang dijatuhkan bagi koruptor tersebut, dalam realitasnya tidak menyurutkan langkah dan kenekatan para koruptor atau calon koruptor baru. Itulah sebabnya, Pemerintah bersama DPR menetapkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Pembuat Undang-Undang KPK menyadari bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi saat ini, seperti kepolisian dan kejaksaan, belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Tidak jarang oknum-oknum dari kedua lembaga tersebut berlepotan oli hitam korupsi yang melumuri wajah, tangan, badan, dan kaki mereka, sehingga tidak mungkin mereka mampu membersihkan diri dengan sabun antikorupsi. Oleh karenanya dibutuhkan sebuah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Lembaga tersebut adalah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau disingkat KPK.
Lembaga yang dibentuk dengan menelan biaya tidak kurang dari Rp 6,4 miliar tersebut kehadirannya tidak sia-sia. Kenyataannya, sejak KPK dibentuk, banyak pejabat negara seperti menteri, anggota DPR/MPR, pejabat kepolisian dan kejaksaan, gubernur, bupati/wali kota, politisi, dan para pengusaha kelas kakap, ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Prestasi tersebut tidak pernah dicapai oleh kepolisian dan kejaksaan meskipun mereka sudah lama eksis. Perhatian dan dukungan yang besar dari masyarakat dan lembaga-lembaga antikorupsi kepada KPK, makin memantapkan tekat dan langkah KPK memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya.
Sebagaimana sudah diuraikan sebelumnya bahwa keberadaan lembaga-lembaga penegak hukum terhadap tindak pidana korupsi ternyata belum menyurutkan nyali koruptor untuk mencuri atau merampok harta negara dan rakyat demi kepentingan diri, keluarga, dan kelompok mereka. Upaya-upaya kuratif memang memberikan hasil seketika dan memberi efek jera yang hebat, namun karena spektrum perilaku korupsi yang demikian luas, maka diperlukan upaya lain yang hasilnya tidak bisa dilihat sekarang, yakni melalui pendidikan antikorupsi.
Pendidikan antikorupsi yang dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 ditangani oleh Subbidang Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat merupakan pilar penting dari Bidang Pencegahan KPK. Adanya Bidang Pencegahan KPK yang membawahi Subbidang Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat akan memperkuat tugas KPK terutama dalam hal melakukan tindakan-tindakan pencegahan terhadap tindak pidana korupsi.
Dalam kaitan persoalan di atas, muncul pertanyaan apakah pendidikan antikorupsi efektif untuk melakukan pencegahan terhadap tindak pidana korupsi, mengingat korupsi sudah seperti tulang dan daging dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa sudah ada lembaga penegak hukum andal seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK serta sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku pun berat baik dari sisi lama pidananya maupun jumlah denda yang harus dibayar, namun korupsi tetap ada di mana-mana bahkan menyebar dan meluas ke relung-relung kehidupan yang dulu tidak pernah dibayangkan akan masuk. Masih perlukah tindakan pencegahan, berupa pendidikan antikorupsi?
Pendidikan antikorupsi mutlak diperlukan untuk memperkuat pemberantasan korupsi yang sedang berjalan, di antaranya melalui reformasi sistem (constitutional reform) dan reformasi kelembagaan (institutional reform) serta penegakan hukum (law enforcement). Menurut Azra (2006: viii), pendidikan antikorupsi merupakan upaya reformasi kultur politik melalui sistem pendidikan untuk melakukan perubahan kultural yang berkelanjutan, termasuk untuk mendorong terciptanya good governance culture di sekolah dan perguruan tinggi.
Sekolah atau perguruan tinggi dapat mengambil peran strategis dalam melaksanakan pendidikan antikorupsi terutama dalam membudayakan perilaku antikorupsi di kalangan siswa dan mahasiswa. Melalui pengembangan kultur sekolah, diharapkan siswa-siswa memiliki modal sosial untuk membiasakan berperilaku antikorupsi. Pendidikan antikorupsi seyogyanya diberikan kepada anak-anak paling tidak sejak mereka duduk di bangku SD. Anak- anak SD yang berusia antara 7 hingga 12 tahun dapat berpikir transformasi revesible atau dapat dipertukarkan dan kekekalan (Disiree 2008: 2). Mereka dapat mengerti adanya perpindahan benda. Mereka mampu membuat klasifikasi dalam level konkret. Anak-anak dapat memahami persoalan sebab akibat yang bersifat konkret. Itulah sebabnya, kepada mereka dapat dikenalkan suatu tindakan dengan akibat yang baik dan yang tidak baik. Berikut ini merupakan alasan (reasoning) mengapa pendidikan antikorupsi perlu diberikan sejak dini, terutama kepada anak-anak yang duduk di bangku SD.
1. Siswa belum mendapatkan informasi dan sosialisasi tentang antikorupsi. Untuk itu, mereka perlu dikenalkan terlebih dahulu nilai-nilai konkret yang diyakini akan dapat melawan tindakan korupsi;
2. Kurangnya keteladanan dari lingkungan (orang tua, guru, orang dewasa di sekitar, dan media). Keteladanan dari orang- orang terdekat dan di sekitarnya akan sangat membantu dalam proses penanaman nilai atau budi pekerti yang diharapkan dapat diterapkan dalam kegiatan mereka sehari- hari;
3. Adanya kompetisi yang kurang sehat antarsiswa. Upaya menghindari kompetisi yang kurang sehat dalam pergaulan mereka di sekolah dapat dilakukan dengan menanamkan nilai- nilai sekolah, seperti saling menghargai, saling menghormati, kesederhanaan, dan tidak pamer. Bahkan jika perlu sekolah dapat memberi penghargaan kepada siswa yang berperilaku terpuji;
4. Sekolah tidak menerapkan aturan yang jelas dan konsisten. Itulah sebabnya, aturan sekolah harus dibuat bersama antara guru, orang tua, dan siswa, supaya siswa merasa ikut memiliki dan bertanggung jawab terhadapnya. Sementara itu, guru dan orang tua berperan sebagai fasilitator dan pengawas. Jika ada yang melanggar aturan sekolah, yang bersalah harus diberi hukuman sesuai dengan tingkat kesalahannya;
5. Pembelajaran di sekolah masih didominasi oleh aspek kognitif. Pembelajaran seperti ini kurang mampu membentuk karakter siswa. Untuk itu, perlu dikembangkan pembelajaran afektif yang bersifaf aplikatif dengan model-model pembelajaran yang dikuasai guru, sehingga pembelajaran kognitif akan dapat dikawal untuk mewujudkan tujuan pendidikan sekolah dasar. Metode dongeng, permainan (games), dan simulasi/ sosiodrama dapat diterapkan dalam pembelajaran afektif di sekolah.
Bagaimana membangun nilai-nilai antikorupsi di kalangan siswa-siswa SMP. Siswa-siswa SMP yang berusia antara 13 hingga 15 memiliki karakter yang tidak jauh berbeda dengan anak- anak SD kelas V dan VI. Proses pembelajaran antikorupsi kepada mereka diarahkan untuk mempersiapkan siswa menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dalam setiap sikap dan perilakunya. Itulah sebabnya, KPK bersama guru-guru SMP di Jakarta dan sekitarnya menyusun modul pendidikan antikorupsi untuk SMP/MTs. Melalui modul ini, diharapkan siswa dapat menjadi agen perubahan sosial (masyarakat) yang kelak akan mampu mengubah masyarakat Indonesia menjadi masyarakat antikorupsi.
Materi yang diangkat dalam pendidikan antikorupsi di SMP/ MTs dikenal dengan 9 karakter pelajar, yaitu tanggung jawab, disiplin, jujur (merupakan nilai inti bagi pelajar), sederhana, kerja keras, mandiri (sebagai etos atau gaya hidup yang harus dimiliki oleh generasi penerus), adil, berani, dan peduli (sebagai sikap kepada orang lain). Sesuai dengan modul yang disusun tersebut, hasil akhirnya adalah siswa: (1) mempunyai karakter yang luhur yang menjunjung tinggi nilai-nilai tanggung jawab, disiplin, jujur, sederhana, kerja keras, mandiri, adil, berani, dan peduli; (2) mampu memenuhi komitmen sebagai pelajar yang menjunjung tinggi nilai-nilai tanggung jawab, disiplin, jujur, sederhana, kerja keras, mandiri, adil, berani, dan peduli dalam masyarakat dan menjadi suri teladan dalam menciptakan masyarakat antikorupsi (Bahri, 2008: 6).
Pendidikan antikorupsi pada jenjang pendidikan dasar pun dilaksanakan di berbagai negara baik di daratan Eropa, Afrika, Asia, Amerika maupun Australia. Di dunia telah dibentuk pula jaringan kerjasama antarnegara untuk mengenalkan program pendidikan antikorupsi. Salah satu contoh pendidikan antikorupsi adalah apa yang telah dilaksanakan oleh China. Melalui China on line, seluruh siswa pada jenjang pendidikan dasar diberikan mata pelajaran pendidikan antikorupsi, yang tujuannya adalah memberikan vaksin kepada pelajar dari bahaya korupsi. Dalam jangka panjang generasi muda China bisa melindungi diri di tengah gempuran pengaruh kejahatan korupsi (Suyanto, 2005: 42).
Pendidikan antikorupsi dilakukan secara berkesinambungan dan pada tingkat sekolah dilaksanakan hingga SMA/SMK/MA. Fokus awal dari pendidikan antikorupsi adalah siswa menghayati, memahami nilai moral, dan membentuk perilaku hingga nilai-nilai tersebut terbentuk secara internal melalui kebiasaan. Tujuan akhirnya adalah perilaku yang berdasarkan nilai-nilai positif tersebut ditularkan dan diterapkan di lingkungan sosial kemasyarakatan. Mengapa pendidikan antikorupsi juga perlu diberikan kepada siswa-siswa SMA/SMK/MA? Sebagaimana diketahui siswa-siswa SMA dan sederajat berada tahap perkembangan remaja pertengahan, dimana perkembangan intelektualnya menurut Piaget berada pada tahap formal operations, saat dimana siswa memiliki kemampuan berpikir abstrak dengan berpikir hipotetis, sehingga mereka mampu membayangkan berbagai kemungkinan penyelesaian masalah (Tamrin, 2008: 1).
Siswa-siswa SMA seperti halnya kebanyakan anak-anak pada tahap remaja pertengahan memiliki karakteristik khusus dalam proses pembentukan moral, yaitu: (1) mengembangkan idealisme, (2) memiliki tokoh sebagai contoh, (3) lebih konsisten berbuat sesuai prinsip yang diyakini, dan (4) lebih mampu menetapkan tujuan sesuai ketertarikannya pada moral (Tamrin, 2008: 4). Seperti halnya alasan yang dikemukakan berkaitan dengan perlunya pendidikan antikorupsi diberikan kepada anak-anak SD, kondisi berikut juga menjadi alasan pembenar mengapa pendidikan antikorupsi perlu juga ditanamkan kepada siswa-siswa SMA.
1. Pembelajaran afektif belum diterapkan dengan benar dan optimal. Umumnya pembelajaran di SMA cenderung bersifat kognitif, sehingga dalam pembelajaran atau pascapembelajaran siswa tidak mampu membiasakan diri berperilaku baik dan benar;
2. Kurangnya keteladanan dari lingkungan (orang tua, guru, orang dewasa di sekitar, pejabat pemerintahan, public figure, dan media). Itulah sebabnya, perkataan, sikap, dan perilaku dari orang-orang terdekat harus dapat menjadi contoh keteladanan bagi siswa atau anak. Jika tidak, maka anak-anak akan bertindak tanpa arah dan bahkan dapat menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku, meskipun kadang-kadang hal tersebut tidak disadarinya;
3. Adanya kompetisi yang tidak sehat di kalangan anak-anak SMA. Anak-anak berasal dari keluarga dengan latar belakang status, kedudukan, dan lapisan yang beraneka ragam. Gaya hidup siswa-siswa dari golongan kaya bukan tidak mungkin akan menimbulkan kecemburuan dari mereka yang berasal dari golongan di bawahnya. Hal ini jika tidak dikendalikan akan dapat menimbulkan suasana pergaulan yang tidak sehat dan kondisi ini akan dapat merusak nilai-nilai moral anak;
4. Sekolah belum dapat menerapkan aturan secara jelas, tegas, dan konsisten. Jika sekolah tidak menerapkan aturan secara tegas, kondisi seperti ini akan melahirkan kebiasaan berperilaku menyimpang. Oleh karena itu, untuk memupuk nilai-nilai ketaatan pada diri siswa, sekolah harus menerapkan aturan secara konsisten. Bagi mereka yang salah harus segera ditindak sesuai dengan tingkat kesalahannya;
5. Siswa-siswa SMA mempunyai bobot tanggung jawab yang lebih besar daripada siswa-siswa di bawahnya, seperti materi pelajaran yang makin sulit, tugas-tugas pekerjaan rumah yang makin banyak, dan keterlibatannya dalam kegiatan OSIS. Sistem pengawasan sekolah terhadap kegiatan siswa baik dalam kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler kurang berjalan sebagaimana mestinya. Hal tersebut dapat mengakibatkan perilaku siswa tidak terkontrol, misalnya melakukan kecurangan dalam tes atau ujian. Itulah sebabnya, pendidikan antikorupsi melalui pengembangan nilai-nilai luhur perlu disemaikan kepada mereka, baik dalam kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler;
6. Belum banyak sekolah, baik SMP maupun SMA yang memperoleh informasi dan sosialisasi tentang pendidikan antikorupsi. Pada level SMA, melalui pendidikan antikorupsi, siswa-siswa diharapkan mampu melakukan analisis, mencari berbagai alternatif pemecahan masalah, menghindari dan melawan perilaku korupsi yang terjadi di sekitarnya.
Upaya pemberantasan korupsi, terutama dalam hal pencegahan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), disambut positif oleh Departemen Pendidikan Nasional. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, substansi materi pendidikan antikorupsi dirumuskan dalam kurikulum kelas V semester I, kelas VIII semester I dan kelas X semester I. Meskipun tidak dicantumkan ke seluruh semester dari jenjang sekolah dasar hingga menengah, tetapi upaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan patut diapresiasi karena hal tersebut dapat memberikan landasan moral dan sosial kepada siswa agar mereka memiliki kebiasaan berperilaku antikorupsi.
Dalam sejarah Indonesia, kehadiran mahasiswa tidak pernah lepas dari peran sentral yang dimainkan. Mulai dari Soetomo, Soekarno, Hatta, Akbar Tanjung, Rachman Tolleng, Fahmi Idris, Hariman Siregar, hingga Rama Pratama menjadi pelopor pada zamannya masing-masing dalam menggerakkan perubahan sosial politik di Indonesia. Sebagaimana diungkapkan oleh Saidi (1989: 20), bahwa sejak Indonesia mempunyai mahasiswa berkat dibukanya pendidikan tinggi pada awal abad ke-20, mereka sudah mempunyai kesadaran politik. Kesadaran politik ini tidak ditujukan untuk meraih kekuasaan politik, tetapi dimaksudkan untuk menggugah kesadaran kaum pribumi akan pentingnya roh keindonesiaan dan sekaligus meningkatkan harkat martabat dan derajat kaum pribumi. Betapa mulia tujuan gerakan mahasiswa dan pemuda pada masa itu.
Sepanjang sejarah Indonesia, mahasiswa berpolitik karena lemahnya lembaga politik atau karena lembaga tersebut memerlukan mahasiswa sebagai kader pemimpin. Banyak di antara aktivis-aktivis gerakan mahasiswa yang selanjutnya menjadi pemimpin, baik di lembaga legislatif, eksekutif, maupun di dalam partai-partai politik. Tidak sembarang mahasiswa dapat menjadi pemimpin. Mereka sudah berbekal pengalaman organisasi yang cukup matang, dilandasi oleh nilai-nilai tanggung jawab, kejujuran, solidaritas, keberanian, kepedulian, dan lain-lain. Nilai-nilai inilah yang mengantarkan mereka menjadi pemimpin yang disegani pada masanya.
Mahasiswa pada masa kini pun semestinya mewarisi jiwa kepemimpinan mahasiswa dan pemuda generasi sebelumnya. Kepemimpinan sangat dibutuhkan mahasiswa, karena bangsa dan negara ini memerlukan kehadirannya. Selain itu, kompleksitas permasalahan dan tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia ke depan, sangat membutuhkan mahasiswa yang memiliki karakter unggul, baik karakter intelektual, emosional, spiritual, maupun moral. Dalam situasi bangsa dan negara yang mengalami krisis kepercayaan, krisis moralitas, dan krisis kepemimpinan, maka sudah selayaknya mahasiswa mendapatkan pendidikan antikorupsi.
Pendidikan antikorupsi dibutuhkan, karena akan dapat membentuk karakter mahasiswa yang unggul, sekaligus juga diharapkan pada saatnya nanti ketika menjadi pemimpin dapat dipertanggungjawabkan kepemimpinannya. Apalagi pada diri mahasiswa terdapat 3 (tiga) dimensi yang harus diasah secara berkelanjutan, yaitu: (1) intelektual, (2) jiwa muda, dan (3) idealisme (Saidi, 1989: 27). Ketiga dimensi atau karakter tersebut sangat diperlukan agar mahasiswa mampu memberikan kontribusi penting dalam menciptakan Indonesia yang unggul, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Perlunya pendidikan antikorupsi diberikan di perguruan tinggi baik sebagai mata kuliah tersendiri maupun terintegrasi dengan mata kuliah yang lain, secara khusus ditujukan untuk memberi bekal pengetahuan sekaligus mentransformasikan mahasiswa sebagai agen antikorupsi yang memiliki kompetensi dan komitmen moral yang tinggi (Azra, 2006: viii). Kompetensi dan komitmen ini selanjutnya ditransformasikan lagi ke dalam bentuk nilai-nilai dan gerakan antikorupsi kepada masyarakat dan generasi di bawahnya.
Post a Comment
Post a Comment