Konflik di Asia Tenggara
( Kamboja, Filipina, & Thailand)
A. Konflik di Kamboja
Pada abad XVI-XX sebagian besar wilayah Asia Tenggara merupakan daerah jajahan bangsa-bangsa Eropa. Hampir setiap negara di kawasan Asia Tenggara pernah mengalami penjajahan negara lain. Mengapa demikian? Diskusikan bersama teman-teman Anda. Selanjutnya, pada masa Perang Dingin kawasan Asia Tenggara menjadi daerah perebutan pengaruh antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Kondisi tersebut turut memicu terjadinya konflik di Asia Tenggara. Selain pengaruh Perang Dingin, konflik di Asia Tenggara dipicu masalah dalam negeri. Berikut konflik yang terjadi di negara-negara Asia Tenggara.
Konflik di Kamboja Coba temukan letak negara Kamboja dalam peta! Pada masa Perang Dingin Raja Kamboja, Norodom Sihanouk, menjalin kedekatan dengan pemerintahan Tiongkok dan Vietnam Utara. Akibatnya, ideologi komunis dari kedua negara tersebut memengaruhi pemerintahan di Kamboja. Selain itu, Norodom Sihanouk menolak bantuan ekonomi yang diberikan Amerika Serikat. Penolakan ini menimbulkan kritik dari pihak oposisi.
Sejak 1964 muncul gerakan pendukung komunis di Kamboja yang disebut Khmer Merah. Keadaan ini semakin menguatkan kedekatan Kamboja dengan komunis. Melihat kondisi tersebut, Perdana Menteri Lon Nol, salah satu tokoh yang pro-Amerika Serikat, berusaha melakukan kudeta. Pada 1970 Perdana Menteri Lon Nol dan Pangeran Sisowath Sirik Matak memimpin pemberontakan. Pemberontakan ini berhasil menggulingkan pemerintahan Raja Norodom Sihanouk. Selanjutnya, terbentuklah Republik Khmer dan Perdana Menteri Lon Nol diangkat sebagai presiden.
Keberhasilan Lon Nol mengkudeta pemerintahan Raja Sihanouk tidak menyelesaikan masalah di Kamboja. Kudeta tersebut justru menyebabkan kekacauan di Kamboja. Golongan Khmer Merah pro-Sihanouk dan komunis berusaha mendapatkan kembali kursi pemerintahan. Usaha ini mendapat dukungan'dari Vietnam Utara. Sementara itu, lion Nol mendapatkan dukungan dari Vietnam Selatan dan Amerika Serikat. Lon Nol memberikan izin kepada Amerika Serikat dan Vietnam Selatan untuk membersihkan wilayah Kamboja dari pengaruh Vietnam Utara.
Pada 17 April 1975 pasukan militer Khmer Merah berhasil merebut Kota Pnom Penh dan mengkudeta pemerintahan Lon Nol. Pasukan ini juga berhasil membentuk pemerintahan revolusioner dengan Pol Pot sebagai perdana menteri. Selama menjalankan pemerintahannya, Pol Pot memimpin Kamboja secara otoriter. Dalam kurun waktu empat tahun, satu juta penduduk dibunuh secara keji.
Pemerintahan otoriter Pol Pot ditentang oleh Heng Samrin dan Hun Sen. Heng Samrin dan Hun Sen berusaha melakukan kudeta terhadap pemerintahan Pol Pot. Usaha kedua tokoh ini mendapat bantuan dari Vietnam Selatan. Pada 1978 Vietnam Selatan mengirim pasukannya menyerbu Kamboja. Pada 8 Januari 1979 Heng Samrin dan Hun Sen dengan bantuan Vietnam Selatan mampu menggulingkan pemerintahan Pol Pot.
Sejak saat itu Heng Samrin menjadi presiden dan Hun Sen sebagai perdana menteri. Akan tetapi, pemerintahan ini tidak mendapat pengakuan resmi dari dunia internasional. PBB justru mengakui pemerintahan koalisi yang dipimpin Norodom Sihanouk, Khieu Samphan, dan Son San. Pemerintahan koalisi ini bernama Coalition Govemment of Democratic Kampuchea (CGDK).
Usaha perdamaian yang diadakan di Kamboja selalu mengalami kegagalan, Kondisi ini terjadi karena keterlibatan pihak asing dalam tiap-tiap golongan. Konflik di Kamboja 'o mengganggu stabilitas politik di Asia Tenggara. Indonesia sebagai salah satu negara di Asia Tenggara turut terlibat aktif dalam mengupayakan perdamaian di Kamboja. Keterlibatan Indonesia antara lain menggelorakan Jakarta formal Meeting (JIM) dan mengirim pasukan perdamaian di bawah bendera PBB ke Kamboja. Setelah kondisi politik Kamboja relatif aman, pada 16 Desember 1998 Kamboja masuk sebagai anggota ASEAN. Keadaan politik Kamboja semakin stabil ketika Pol Pot meninggal dunia pada 1999.
B. People Power di Filipina
Apa yang Anda ketahui tentang gerakan People Power di Filipina? Gerakan people power di Filipina merupakan gerakan rakyat Filipina yang berhasil menjatuhkan rezim Ferdinand Marcos. Ferdinand Marcos menjabat sebagai Presiden Filipina sejak 1965. Ferdinand Marcos memerintah secara diktator dan sering menggunakan kekuatan militer untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Oleh karena itu, rakyat Filipina bangkit dan menentangnya. Dalam pemerintahan pun muncul kelompok oposisi yang menentang rezim Ferdinand Marcos.
Pada 1983 terjadi pembunuhan terhadap Benigno Aquino, senator Filipina yang termasuk kelompok oposisi dalam pemerintahan Ferdinand Marcos. Peristiwa tersebut memicu kemarahan rakyat Filipina. Sejak peristiwa tersebut rakyat Filipina mulai menentang pemerintahan Ferdinand Marcos. Menjelang pemilu 1986, muncul tokoh bernama Cory Aquino istri mendiang Benigno Aquino. Cory Aquino didukung oleh banyak pihak untuk mencalonkan diri sebagai kandidat Presiden Filipina. Cory Aquino akhirnya bersedia mengajukan diri sebagai calon presiden dalam pemilu 1986.
Pada 7 Februari 1986 di Filipina diadakan pemilu presiden. Pemilu tersebut dimenangi oleh Ferdinand Marco . Akan tetapi, rakyat Filipina menyadari kecurangan dalam pelaksanaan pemilu. Pada 22-25 Februari 1986 rakyat Filipina terjun ke jalan menolak hasil pemilu. Mereka menuntut agar Ferdinand Marcos mundur dari jabatannya. Aksi demonstrasi rakyat berlangsung damai dan dikenal dengan gerakan Epifanio de Los Santos Avenue (EDSA). Akhirnya, pada 25 Februari 1986 Cory Aquino diangkat sebagai Presiden Filipina. Sementara itu, Ferdinand Marcos melarikan diri ke Hawaii dan meninggal pada 1989.
C. Konflik di Thailand
Apa yang Anda ketahui tentang negara Thailand? Tahukah Anda, wilayah Thailand dahulunya merupakan sebuah kerajaan bernama Kerajaan Siam? Mayoritas penduduk Thailand adalah etnik Thai yang memeluk agama Buddha. Selain etnik Thai, terdapat etnik Melayu yang beragama Islam Jumlah etnik Melayu sangat sedikit dan menempati wilayah Thailand bagian selatan, khususnya Provinsi Pattani, Yala, dan Narrathiwat.
Konflik di Thailand dilatarbelakangi oleh sentimen ras dan agama yang terjadi di kalangan masyarakat Thailand. Konflik seperti itu sering terjadi di Provinsi Pattani, Yala, dan Narrathiwat yang awalnya merupakan bagian dari Kerajaan Pattani, salah satu kerajaan Islam yang berkembang di Thailand hingga abad XIX. Pada 1902 ketiga wilayah tersebut berintegrasi dengan Kerajaan Siam dan menjadi bagian dari negara Thailand. Secara kultur, masyarakat Melayu di Thailand selatan sangat berbeda dengan etnik Thai di Thailand bagian utara. Konflik di Thailand mulai muncul karena perlakuan diskriminatif pemerintah Thailand terhadap etnik minoritas. Oleh karena itu, muncul gerakan separatis di ketiga provinsi tersebut yang ingin memisahkan diri dari pemerintahan Thailand.
Pada 1947 Haji Sulong bin Abdul Kadir, kepala dewan Provinsi Islam Pattani, mengobarkan perlawanan terhadap pemerintah Thailand. Ia memimpin kampanye petisi penuntutan hak otonom, bahasa, budaya, dan penerapan hukum Islam. Pemerintah Thailand kemudian menangkap Haji Sulong bin Abdul Kadir dan mengasingkannya. Peristiwa tersebut menyebabkan dirinya menjadi simbol perlawanan etnik Melayu Muslim terhadap pemerintah Thailand.
Masyarakat Thailand bagian selatan juga membentuk organisasi sebagai wadah perjuangan kaum Melayu-Muslim. Organisasi-organisasi tersebut antara lain Barisan Nasional Pembebasan Thailand (BNPT), Barisan Revolusi Nasional (BRN), dan Pattani United Liberation Organization (PULO). Ketiga organisasi tersebut memiliki tujuan sama, yaitu mengurangi dominasi pemerintah Thailand. Bahkan, mereka menginginkan kemerdekaan Thailand Selatan sebagai tujuan tertinggi mereka. Ketiga organisasi tersebut juga menerapkan strategi perjuangan yaitu pemisahan diri total, perjuangan membentuk otonomi wilayah, dan penggabungan diri dengan Malaysia.
Sejak 2002 konflik di Thailand mulai mengarah pada pertempuran fisik. Kontak fisik dan pertempuran bersenjata antara kaum separatis dan militer Thailand mulai terjadi. Dampaknya, banyak warga sipil Thailand menjadi korban dari konflik tersebut. Hingga saat ini pemerintah Thailand masih melakukan operasi militer untuk mengatasi gerakan separatis tersebut.
ASEAN sebagai organisasi regional di kawasan Asia Tenggara memandang konflik di Thailand bukan sebagai isu sentral. Pandangan tersebut karena ASEAN memegang prinsip nonintervensi terhadap masalah dalam negeri negara lain. Pada 2008 pemerintah Indonesia sempat menjadi mediator antara pemerintah Thailand dan gerakan separatis. Akan tetapi, hingga saat ini konflik di Thailand masih terus terjadi. Bagaimana perkembangan konflik di Thailand? Coba Anda temukan informasi tentang kelanjutan konflik di Thailand melalui berbagai media massa. Catatlah informasi yang Anda temukan sebagai bahan tambahan belajar.
Post a Comment
Post a Comment